09 September 2007

Stars That Shine Like Snow-White

... And yet with neither love nor hate,
Those stars like some snow-white
Minerva’s snow-white marble eyes
Without the gift of sight
... [Robert Frost]

Saya segera menuju ke telepon di sebelah kasir dengan sedikit tergopoh. Begitu sampai, saya langsung mengangkat gagang telepon.

“Kamu di mana, Jeng? Saya sudah nunggu kamu sejam lebih. Kalau … ”

“Mas,” Diajeng memotong pertanyaan saya. “Aku nggak punya waktu banyak. Tolong dengarkan aku dulu ya, Mas. Please.”

“Oke,” jawab saya pendek.

“Sebelumnya aku minta maaf, Mas. Aku nggak jadi ke Merlimba. Aku tahu kamu pasti marah. Tapi, tolong dengarkan aku dulu. Aku sekarang di bandara. Sebentar lagi pesawatku berangkat.”

“Di bandara? Ngapain? Kamu mau ke mana?” tanya saya penuh rasa heran.

“Aku mau ke Milan, diajak Om. Mendadak memang. I am so sorry for that. But do you remember that calling? Malam itu lo Mas, waktu kamu mengantarku pulang ke rumah mami? Itu telepon dari Om. Akhirnya aku nggak bisa menolak ajakannya. Aku harus, Mas. Ini impianku sejak dulu. Aku nggak tahu sampai kapan di sana, mungkin malah nggak balik lagi ke Jakarta. Kamu ngerti kan, Mas?”

“Sik, sik, sik … ” saya menyela. “Om? Impian? Kamu ngomong apa sih? Mami kan … ”

Mendadak telepon Diajeng putus. “Halo … halo … halo … ” saya mencoba memanggil.

Tak ada sahutan. Cuma ada suara tut … tut … tut … Saya pencet-pencet telepon itu, tapi ndak nyambung juga. Saya tunggu sebentar, siapa tahu Diajeng mengulang teleponnya.

Lima menit berlalu, telepon tak berdering juga. Kenapa? Akhirnya saya kembali ke meja.

“Teleponnya sudah, Pak?” tanya mbak penjaga kasir dengan ramah.

“Sudah, Mbak. Putus tadi,” jawab saya. “Biarin deh, mungkin nanti dia menelepon lagi.”

Dalam hati saya misuh-misuh. Diamput. Asyem. Semprul. Diajeng ki maunya apa sih? Sudah jauh-jauh ke sini, eh dia malah ke bandara. Mau ke Milan pula. Ngapain gitu lo? Terus yang dia maksud om itu siapa? Seingat saya, Diajeng ndak punya om. Papinya bungsu dari tiga bersaudara. Satu-satunya adik maminya ada di Solo. Apa dia yang mengajak Diajeng ke Milan? Ah, embuhlah.

Ciloko tenan ini. Saya ndak bisa menelepon Diajeng pula. Sepertinya dia tadi memakai telepon umum. Saya ingat handphone Diajeng juga memang di rumah maminya. Terus piye iki?

Ah, sudahlah. Terserah Diajeng. Saya memutuskan menunggu barang setengah atau sejam lagi. Siapa tahu Diajeng menelepon lagi. Toh dia hapal luar kepala nomor telepon Merlimba.

Daripada menunggu dalam bengong, saya pesan makan saja. Perut saya mulai keroncongan, belum diisi sejak siang tadi.

Sambil makan pelan-pelan, otak saya berpikir keras. Saya mulai merasa ada sesuatu yang ndak beres. Dulu, jarang-jarang Diajeng pergi mendadak seperti ini. Biasanya jauh-jauh hari dia sudah memberi tahu saya.

Ah, waktu mungkin memang telah mengubah segalanya. Banyak yang saya ndak tahu lagi tentang Diajeng sejak kami berpisah dulu. Pantas saja, maminya terdengar seperti agak khawatir juga ketika tadi pagi menelepon saya di rumah. Entah, saya ndak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.

Tak terasa, satu jam berlalu. Makanan di piring sudah tandas pindah ke perut. Diajeng ternyata tak kunjung menelepon. Mungkin dia sudah terbang. Jadi ngapain saya berlama-lama di sini?

Saya segera membayar dan beranjak meninggalkan Merlimba. Dewi malam mulai menunjukkan kedatangannya lewat angin yang dingin. Kabut dan gerimis sudah pergi. Jalanan agak sepi.

Saya jalankan mobil pelan-pelan menyusuri tikungan-tikungan jalanan yang menurun. Pohon-pohon teh berjejeran di kiri dan kanan jalan. Warung-warung, juga penjaga vila yang mengedip-ngedipkan sentolop di tangan tanda ada kamar yang kosong, berlalu di belakang. Pikiran saya melayang ke mana-mana, mengikuti tikungan kehidupan yang telah saya lalui selama ini, bersama Diajeng.

Rasanya baru kemarin saya bertemu dia. Rasanya baru tadi saya merasakan harum tubuhnya. Rasanya baru lima menit yang lalu saya mendengar tawanya. Ah, padahal sudah berapa lama saya tak berjumpa dengannya sampai akhirnya kemarin malam dia menelepon dan kami bertemu di sebuah kedai kopi di jantung kota. Lima, enam, atau tujuh tahun yang lalu?

Saya ingat, malam-malam begini di Puncak bertahun yang lalu, Diajeng sering mengajak saya berjalan kaki menyusuri jalan-jalan di sekitar vila langganan kami itu. Vila bercat hijau itu kecil saja. Desainnya sangat moi indie, mirip rumah-rumah sinyo Belanda tempo doeloe. Halaman depannya dihampari rumput dan pinus.

Kalau sedang berjalan-jalan seperti itu, Diajeng pasti minta digandeng atau dipeluk, lalu lama-lama ngelendot di bahu saya. “Soalnya aku seneng kalau ada kamu di sebelahku, Mas. Hangat,” begitu alasannya waktu itu.

Saya cuma mesem. Di atas, langit benderang. Bintang-bintang berjejeran tak beraturan.

“Mas, bener nggak sih, kata orang bintang itu sebetulnya sudah lama mati, mungkin bertahun-tahun yang lalu? Hanya karena jaraknya begitu jauh, sinar terakhirnya baru sampai dan terlihat oleh mata kita sekarang,” tiba-tiba Diajeng bertanya sambil menengadahkan dagunya yang lancip.

“Begitulah, Jeng,” jawab saya sekenanya. “Bintang mungkin sebuah perlambang, bahwa yang telah mati pun bisa tetap terlihat indah dari kejauhan, bahkan setelah berabad-abad kemudian. Eh, tahu ndak, Jeng? Bintang sering jadi inspirasi para penyair dan pujangga lo.”

“Oh ya? Misalnya siapa, Mas?’

“Misalnya Robert Frost. Dia pernah menulis sebuah puisi, judulnya Stars. Di antara bait-bait puisinya, Frost menyebut tentang bintang.”

“Kamu ingat kata-katanya, Mas?”

“Tentu.”

Saya lalu membacakan puisi Frost, diambil dari kumpulan sajak A boy’s Will.
How countlessly they congregate
O’er our tumultuous snow,
Which flows in shapes as tall as trees
When wintry winds do blow!

As if with keenness for our fate,
Our faltering few steps on
To white rest, and a place of rest
Invisible at dawn,

And yet with neither love nor hate,
Those stars like some snow-white
Minerva’s snow-white marble eyes
Without the gift of sight
.

Diajeng mendengarkan saya membaca sajak dengan mata tak berkedip dan mulut melongo.

“Wah … kamu romantis sekali deh, Mas,” katanya sambil memeluk pinggang saya erat-erat.

“Halah. Romantis opo seh?” jawab saya sambil mengacak-acak rambut Diajeng.

Dia tergelak. Tiba-tiba wajahnya berubah.

“Tapi, sampai kapan kita begini terus, Mas? Kenapa kita harus bersembunyi dalam gelap, seperti tikus yang menghindari kucing? Aku kan nggak mau seperti bintang yang harus mati dulu supaya sinarnya bisa kamu kenang? Aku nggak mau seperti bintang yang cuma menarik di kejauhan. Aku pengen di dekatmu, Mas. Bisakah kau tinggalkan mbakyu demi aku?” tanya Diajeng.

Saya lihat bibirnya bergetar. Ups. Sepertinya perang bubat bakal dimulai lagi nih. Di mana ada pemadam kebakaran?

“Kenapa kamu menanyakan itu, Jeng?” saya balik bertanya untuk meredakan ketegangan.

“Jawab saja, Mas. Kamu jangan mengelak.”

Aha, rupanya Diajeng menangkap sinyal keengganan saya untuk menjawab. Kuldesak. Ibarat petinju, saya terpojok di ujung ring.

“Ya bagaimana lagi, Jeng,” jawab saya masih ogah-ogahan. “Kamu tahu benar kan, situasinya? Mas kan ndak mungkin meninggalkan mbakyu dan anak-anak. Sudahlah, Jeng. Mas kan sudah sering bilang, nanti saja kita pikirkan bagaimana sebaiknya.”

“Ah, kamu,” kata Diajeng sambil mencubit pinggang saya.

Untung cuma cubitan. Saya ndak sanggup membayangkan seandainya Diajeng melanjutkan pertanyaan soal itu terus dan mengejar jawaban tanpa lelah, seperti biasanya. Perang bubat mungkin benar-benar akan meletus.

Saya menghela napas panjang, lalu memeluknya erat-erat. Kami meneruskan jalan pulang menuju vila kecil di bawah bukit itu dalam keheningan yang panjang. Entah apa yang dipikirkannya. Pikiran saya sendiri melayang tak keruan.

Sekarang saya sudah agak lupa jalan menuju vila itu. Sejak meninggalkan Merlimba tadi mata saya mencari-cari belokan menuju vila itu. Tapi, ndak menemukannya. Mungkinkah sudah terlewat?

Ah, biarlah. Untuk apa diingat-ingat lagi. Diajeng toh sudah tak ada di sini dan entah kapan dia pulang lagi. Mungkin juga Diajeng tak akan pernah kembali. Saya ndak mau terlalu larut memikirkannya lagi. Que sera, sera. Whatever will be, will be.

Di atas, tak ada bintang seperti yang pernah kami lihat dulu. Langit tertutup mendung. Jakarta masih sejam lagi, masih cukup panjang jalan menuju pulang. Di depan, masih ada banyak tikungan yang mesti saya lewati. We never know what tomorrow brings.

Selamat jalan, Jeng …

Baca lanjutannya ...

08 September 2007

How Defining A Man Is Sexy

Jumat malam tadi, saya sendirian di pabrik [beginilah nasib satpam, hiks!]. Layar televisi di depan saya jaga sedang menayangkan acara dari sebuah stasiun, malam penghargaan entah apa namanya. Kalau ndak salah sih, acara MTV Movie Award di Global TV.

Tiba-tiba tiga remaja perempuan muncul di layar, lalu berbicara di depan mikrofon. Saya ndak tahu mereka itu siapa, apalagi namanya. Mungkin mereka itu penyanyi, bintang film, atau bintang sinetron. Ketoke sih, seleb gitulah.

“Menurut lo, cowok seksi itu yang kayak gimana, sih?” salah satu dari tiga perempuan itu membuka percakapan dengan bertanya pada dua temannya.

Halah, apa coba hubungan antara cowok seksi dan acara penghargaan itu?

Ah, tapi biarlah. Mau cowok seksi kek, mau cewek seksi kek, itu urusan mereka, bukan urusan saya. Ngapain saya repot? Lagi pula saya penasaran, pengen tahu apa jawaban dua perempuan yang ditanya.

Percakapan berlanjut. “Yang cakep, putih, tinggi, indo gitu deh,” jawab yang satunya. “Kalo menurut lo?” ia balik bertanya.

“Menurut gue, cowok yang seksi itu yang agak-agak bad boy gitu deh,” jawab yang pertama kali bertanya tadi.

“Ah, kalo menurut gue cowok seksi itu yang smart, dewasa, matang,” jawab yang satunya lagi.

Terus terang saya ngakak begitu mendengar percakapan itu. Yak opo seh, mosok tanya jawab wagu seperti itu mesti muncul di acara yang sebetulnya ndak wagu-wagu amat? Apa yang ngatur acara itu ndak punya pertanyaan lain, sih?

Ah, tapi biarlah. Mungkin penonton yang lain menyukainya. Saya saja yang terlalu cerewet bin nyinyir mengomentari acara yang mestinya memang ndak perlu dikomentari itu.

Tapi, ngomong-omong, menurut sampean cowok seksi itu yang seperti apa sih, Ki Sanak? Saya seksi ndak?

Baca lanjutannya ...

07 September 2007

A Letter to A Friend

Setiap perjuangan selalu melahirkan sejumlah pengkhianat dan para penjilat. Jangan kau gusar, Hadi. — Taufik Ismail (1966)

Saya ingat, Paklik Isnogud membacakan sajak itu ketika hari-hari itu para penjilat, para pengkhianat, berseliweran di luar. Mereka bukan lagi menjadi bagian dari kami. Mereka sudah di luar pagar. Tapi, gonggongannya masih kerap membuat bising telinga kami yang memang belum tuli.

Hari-hari ini, saya ingat lagi sajak itu. Ketika para pengkhianat kembali mencabik-cabik kepercayaan. Ketika para penjilat makin berani menadah ludah orang lain.

Ah, untunglah, kami selalu ingat pesan Taufik Ismail. Jangan kau gusar, Hadi …

:: untuk M dan teman-teman ::
[In memoriam, 7 September 2004]

PS: Menurut sampean, para penjilat dan pengkhianat itu sebaiknya diapain, Ki Sanak?

Baca lanjutannya ...

06 September 2007

Don't Do That, Private!

Inilah surat edaran yang bikin resah sebagian warga Jakarta beberapa hari ini.



Saya mendapatkan surat edaran ini dari seorang tetangga kemarin pagi. Katanya, surat itu beredar dari satu ibu ke ibu yang lain di pasar kompleks perumahan kami. Entah siapa yang mengedarkannya.

Ibu-ibu, kata tetangga saya itu, agak-agak panik setelah membaca surat edaran yang dikeluarkan dan diteken oleh anggota marinir, lengkap dengan cap resmi. Kenapa?

“Karena dalam daftar itu ada beberapa merek makanan yang biasa dikonsumsi anak-anak mereka, Mas,” jawab tetangga saya.

Ibu-ibu itu sebetulnya antara percaya dan tidak pada surat itu. Maklum, sekarang kan musim tipu-menipu lewat fotokopian seperti itu. “Tapi, yang ini lain. Ada tanda tangan dari marinir je, orang berpangkat. Itu yang bikin keder, Mas,” kata tetangga saya.

Saya mesem. Lah wong marinir ki juga manusia je. Mosok bikin keder? Halah.

“Masalahnya, kita kan ndak tahu kepada siapa harus bertanya, Mas. Kita ndak tahu surat itu beneran atau apus-apus, bohongan. Mereka belum pernah mendengar penjelasan dari pemerintah atau Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Media massa pun belum banyak yang memberitakannya,” katanya.

Untungnya, saya memang sudah membaca berita tentang surat yang bikin heboh itu. Situs-situs berita bahkan sudah menayangkan klarifikasi Kepala Dinas Penerangan Marinir Letnan Kolonel Novarin Gunawan tentang surat edaran itu.

Intinya, menurut pak letnan kolonel itu, surat edaran itu memang berasal dari korps marinir yang bermarkas di Cilandak, Jakarta Selatan. Dikeluarkan pada 10 Agustus 2007. Saya heran, kenapa surat itu baru sampai di kompleks perumahan saya kemarin? Ah, mungkin karena saking terpencilnya kampung saya.

Tapi, kata pak letnan kolonel, surat itu sebetulnya hanya untuk kepentingan internal. Pak letnan kolonel ndak tahu mengapa surat itu bisa keluar dan siapa yang mengedarkannya.

Pak letnan kolonel juga mengakui bahwa laboratorium Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Ramelan, Surabaya, yang menjadi rujukan edaran itu tak berwenang mengeluarkan rekomendasi tentang makanan. Laboratorium itu hanya mengurus penelitian medis, dan bukan penelitian makanan.

Lah, lab medis seperti itu kok bisa dijadikan rujukan ya? Bukankah [dengan segala kekurangannya] hanya Badan Pengawasan Obat dan Makanan yang mestinya berwenang mengeluarkan daftar seperti itu?

Aha, rupanya ada yang kelebihan energi dan inisiatif. Lalu, orang itu bikin surat edaran yang bikin publik resah. Memang pak letnan kolonel itu sudah minta maaf. Tapi, mbok ya lain kali hati-hati dong, Pak. Biar masyarakat yang memang gampang terbakar isu ini ndak cepat resah juga.

Lagi pula, setahu saya marinir itu tugasnya ngurusin pertahanan dan keamanan, bukan makanan. Kenapa sekarang melakukan diversifikasi tugas? Jangan mentang-mentah, ah …

Bukan begitu, Ki Sanak?

Baca lanjutannya ...

05 September 2007

Rest in Peace, Pal ...

Berita duka itu masuk via SMS ke handphone saya. Pengirimnya Mbakyu Enny dan Mas Bangsari. Mereka mengabarkan bahwa seorang kawan kita sesama blogger, Susiawan Wijaya alias Wawan, meninggal dalam sebuah kecelakaan di laut Aceh pada 2 September 2007. Jenazahnya sudah dimakamkan di kampung halamannya di Jember, Jawa Timur.

Wawan adalah pemilik blog Just Ducky. Seperti yang tertulis di halaman About, Susiawan menjelaskan profilnya begini:

Susiawan Wijaya a.k.a bebek is an anime lovers, noodle maniac, hate lies, hate durian, RPG’s lovers especially Final Fantasy series. Temporary lives in Syiah Kuala, Banda Aceh, Spend my chilhood in Jember until i got to go to the university. During that time i lived in Malang (still in East Java). But not too long i’ve got to go back and finished my study in Jember. Nowadays lives in Banda Aceh, working and searching (of what? *blank*). Born on March 1st, 197* in Jember, East Java.

Proud to be an Indonesian Blogger. Being a blogger since 2003, when a friend influenced his habit in writing through online media like Weblog. Knowing nothing about blogging though never give give up and fully loaded headed stubborn in trying and trying. Using pure HTML when the first time starting to blog, but in 3 month i have changed my way of blogging from using pure manual posting which is tiring and the appearance was poor to blogspot.


Seorang lelaki yang baik, seorang blogger yang bangga menjadi orang Indonesia telah pergi, Ki Sanak. Kali ini giliran Susiawan, besok mungkin kita. Siapa yang tahu?

Mari kita tundukkan kepala sejenak untuk mendoakan almarhum. Semoga sampean semua memaafkan segala kekhilafan almarhum. Semoga pula Gusti Allah memberikan tempat yang terbaik untuk almarhum. Selamat jalan, Wan ...

Baca lanjutannya ...