09 September 2007

Stars That Shine Like Snow-White

... And yet with neither love nor hate,
Those stars like some snow-white
Minerva’s snow-white marble eyes
Without the gift of sight
... [Robert Frost]

Saya segera menuju ke telepon di sebelah kasir dengan sedikit tergopoh. Begitu sampai, saya langsung mengangkat gagang telepon.

“Kamu di mana, Jeng? Saya sudah nunggu kamu sejam lebih. Kalau … ”

“Mas,” Diajeng memotong pertanyaan saya. “Aku nggak punya waktu banyak. Tolong dengarkan aku dulu ya, Mas. Please.”

“Oke,” jawab saya pendek.

“Sebelumnya aku minta maaf, Mas. Aku nggak jadi ke Merlimba. Aku tahu kamu pasti marah. Tapi, tolong dengarkan aku dulu. Aku sekarang di bandara. Sebentar lagi pesawatku berangkat.”

“Di bandara? Ngapain? Kamu mau ke mana?” tanya saya penuh rasa heran.

“Aku mau ke Milan, diajak Om. Mendadak memang. I am so sorry for that. But do you remember that calling? Malam itu lo Mas, waktu kamu mengantarku pulang ke rumah mami? Itu telepon dari Om. Akhirnya aku nggak bisa menolak ajakannya. Aku harus, Mas. Ini impianku sejak dulu. Aku nggak tahu sampai kapan di sana, mungkin malah nggak balik lagi ke Jakarta. Kamu ngerti kan, Mas?”

“Sik, sik, sik … ” saya menyela. “Om? Impian? Kamu ngomong apa sih? Mami kan … ”

Mendadak telepon Diajeng putus. “Halo … halo … halo … ” saya mencoba memanggil.

Tak ada sahutan. Cuma ada suara tut … tut … tut … Saya pencet-pencet telepon itu, tapi ndak nyambung juga. Saya tunggu sebentar, siapa tahu Diajeng mengulang teleponnya.

Lima menit berlalu, telepon tak berdering juga. Kenapa? Akhirnya saya kembali ke meja.

“Teleponnya sudah, Pak?” tanya mbak penjaga kasir dengan ramah.

“Sudah, Mbak. Putus tadi,” jawab saya. “Biarin deh, mungkin nanti dia menelepon lagi.”

Dalam hati saya misuh-misuh. Diamput. Asyem. Semprul. Diajeng ki maunya apa sih? Sudah jauh-jauh ke sini, eh dia malah ke bandara. Mau ke Milan pula. Ngapain gitu lo? Terus yang dia maksud om itu siapa? Seingat saya, Diajeng ndak punya om. Papinya bungsu dari tiga bersaudara. Satu-satunya adik maminya ada di Solo. Apa dia yang mengajak Diajeng ke Milan? Ah, embuhlah.

Ciloko tenan ini. Saya ndak bisa menelepon Diajeng pula. Sepertinya dia tadi memakai telepon umum. Saya ingat handphone Diajeng juga memang di rumah maminya. Terus piye iki?

Ah, sudahlah. Terserah Diajeng. Saya memutuskan menunggu barang setengah atau sejam lagi. Siapa tahu Diajeng menelepon lagi. Toh dia hapal luar kepala nomor telepon Merlimba.

Daripada menunggu dalam bengong, saya pesan makan saja. Perut saya mulai keroncongan, belum diisi sejak siang tadi.

Sambil makan pelan-pelan, otak saya berpikir keras. Saya mulai merasa ada sesuatu yang ndak beres. Dulu, jarang-jarang Diajeng pergi mendadak seperti ini. Biasanya jauh-jauh hari dia sudah memberi tahu saya.

Ah, waktu mungkin memang telah mengubah segalanya. Banyak yang saya ndak tahu lagi tentang Diajeng sejak kami berpisah dulu. Pantas saja, maminya terdengar seperti agak khawatir juga ketika tadi pagi menelepon saya di rumah. Entah, saya ndak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.

Tak terasa, satu jam berlalu. Makanan di piring sudah tandas pindah ke perut. Diajeng ternyata tak kunjung menelepon. Mungkin dia sudah terbang. Jadi ngapain saya berlama-lama di sini?

Saya segera membayar dan beranjak meninggalkan Merlimba. Dewi malam mulai menunjukkan kedatangannya lewat angin yang dingin. Kabut dan gerimis sudah pergi. Jalanan agak sepi.

Saya jalankan mobil pelan-pelan menyusuri tikungan-tikungan jalanan yang menurun. Pohon-pohon teh berjejeran di kiri dan kanan jalan. Warung-warung, juga penjaga vila yang mengedip-ngedipkan sentolop di tangan tanda ada kamar yang kosong, berlalu di belakang. Pikiran saya melayang ke mana-mana, mengikuti tikungan kehidupan yang telah saya lalui selama ini, bersama Diajeng.

Rasanya baru kemarin saya bertemu dia. Rasanya baru tadi saya merasakan harum tubuhnya. Rasanya baru lima menit yang lalu saya mendengar tawanya. Ah, padahal sudah berapa lama saya tak berjumpa dengannya sampai akhirnya kemarin malam dia menelepon dan kami bertemu di sebuah kedai kopi di jantung kota. Lima, enam, atau tujuh tahun yang lalu?

Saya ingat, malam-malam begini di Puncak bertahun yang lalu, Diajeng sering mengajak saya berjalan kaki menyusuri jalan-jalan di sekitar vila langganan kami itu. Vila bercat hijau itu kecil saja. Desainnya sangat moi indie, mirip rumah-rumah sinyo Belanda tempo doeloe. Halaman depannya dihampari rumput dan pinus.

Kalau sedang berjalan-jalan seperti itu, Diajeng pasti minta digandeng atau dipeluk, lalu lama-lama ngelendot di bahu saya. “Soalnya aku seneng kalau ada kamu di sebelahku, Mas. Hangat,” begitu alasannya waktu itu.

Saya cuma mesem. Di atas, langit benderang. Bintang-bintang berjejeran tak beraturan.

“Mas, bener nggak sih, kata orang bintang itu sebetulnya sudah lama mati, mungkin bertahun-tahun yang lalu? Hanya karena jaraknya begitu jauh, sinar terakhirnya baru sampai dan terlihat oleh mata kita sekarang,” tiba-tiba Diajeng bertanya sambil menengadahkan dagunya yang lancip.

“Begitulah, Jeng,” jawab saya sekenanya. “Bintang mungkin sebuah perlambang, bahwa yang telah mati pun bisa tetap terlihat indah dari kejauhan, bahkan setelah berabad-abad kemudian. Eh, tahu ndak, Jeng? Bintang sering jadi inspirasi para penyair dan pujangga lo.”

“Oh ya? Misalnya siapa, Mas?’

“Misalnya Robert Frost. Dia pernah menulis sebuah puisi, judulnya Stars. Di antara bait-bait puisinya, Frost menyebut tentang bintang.”

“Kamu ingat kata-katanya, Mas?”

“Tentu.”

Saya lalu membacakan puisi Frost, diambil dari kumpulan sajak A boy’s Will.
How countlessly they congregate
O’er our tumultuous snow,
Which flows in shapes as tall as trees
When wintry winds do blow!

As if with keenness for our fate,
Our faltering few steps on
To white rest, and a place of rest
Invisible at dawn,

And yet with neither love nor hate,
Those stars like some snow-white
Minerva’s snow-white marble eyes
Without the gift of sight
.

Diajeng mendengarkan saya membaca sajak dengan mata tak berkedip dan mulut melongo.

“Wah … kamu romantis sekali deh, Mas,” katanya sambil memeluk pinggang saya erat-erat.

“Halah. Romantis opo seh?” jawab saya sambil mengacak-acak rambut Diajeng.

Dia tergelak. Tiba-tiba wajahnya berubah.

“Tapi, sampai kapan kita begini terus, Mas? Kenapa kita harus bersembunyi dalam gelap, seperti tikus yang menghindari kucing? Aku kan nggak mau seperti bintang yang harus mati dulu supaya sinarnya bisa kamu kenang? Aku nggak mau seperti bintang yang cuma menarik di kejauhan. Aku pengen di dekatmu, Mas. Bisakah kau tinggalkan mbakyu demi aku?” tanya Diajeng.

Saya lihat bibirnya bergetar. Ups. Sepertinya perang bubat bakal dimulai lagi nih. Di mana ada pemadam kebakaran?

“Kenapa kamu menanyakan itu, Jeng?” saya balik bertanya untuk meredakan ketegangan.

“Jawab saja, Mas. Kamu jangan mengelak.”

Aha, rupanya Diajeng menangkap sinyal keengganan saya untuk menjawab. Kuldesak. Ibarat petinju, saya terpojok di ujung ring.

“Ya bagaimana lagi, Jeng,” jawab saya masih ogah-ogahan. “Kamu tahu benar kan, situasinya? Mas kan ndak mungkin meninggalkan mbakyu dan anak-anak. Sudahlah, Jeng. Mas kan sudah sering bilang, nanti saja kita pikirkan bagaimana sebaiknya.”

“Ah, kamu,” kata Diajeng sambil mencubit pinggang saya.

Untung cuma cubitan. Saya ndak sanggup membayangkan seandainya Diajeng melanjutkan pertanyaan soal itu terus dan mengejar jawaban tanpa lelah, seperti biasanya. Perang bubat mungkin benar-benar akan meletus.

Saya menghela napas panjang, lalu memeluknya erat-erat. Kami meneruskan jalan pulang menuju vila kecil di bawah bukit itu dalam keheningan yang panjang. Entah apa yang dipikirkannya. Pikiran saya sendiri melayang tak keruan.

Sekarang saya sudah agak lupa jalan menuju vila itu. Sejak meninggalkan Merlimba tadi mata saya mencari-cari belokan menuju vila itu. Tapi, ndak menemukannya. Mungkinkah sudah terlewat?

Ah, biarlah. Untuk apa diingat-ingat lagi. Diajeng toh sudah tak ada di sini dan entah kapan dia pulang lagi. Mungkin juga Diajeng tak akan pernah kembali. Saya ndak mau terlalu larut memikirkannya lagi. Que sera, sera. Whatever will be, will be.

Di atas, tak ada bintang seperti yang pernah kami lihat dulu. Langit tertutup mendung. Jakarta masih sejam lagi, masih cukup panjang jalan menuju pulang. Di depan, masih ada banyak tikungan yang mesti saya lewati. We never know what tomorrow brings.

Selamat jalan, Jeng …

Baca lanjutannya ...

08 September 2007

How Defining A Man Is Sexy

Jumat malam tadi, saya sendirian di pabrik [beginilah nasib satpam, hiks!]. Layar televisi di depan saya jaga sedang menayangkan acara dari sebuah stasiun, malam penghargaan entah apa namanya. Kalau ndak salah sih, acara MTV Movie Award di Global TV.

Tiba-tiba tiga remaja perempuan muncul di layar, lalu berbicara di depan mikrofon. Saya ndak tahu mereka itu siapa, apalagi namanya. Mungkin mereka itu penyanyi, bintang film, atau bintang sinetron. Ketoke sih, seleb gitulah.

“Menurut lo, cowok seksi itu yang kayak gimana, sih?” salah satu dari tiga perempuan itu membuka percakapan dengan bertanya pada dua temannya.

Halah, apa coba hubungan antara cowok seksi dan acara penghargaan itu?

Ah, tapi biarlah. Mau cowok seksi kek, mau cewek seksi kek, itu urusan mereka, bukan urusan saya. Ngapain saya repot? Lagi pula saya penasaran, pengen tahu apa jawaban dua perempuan yang ditanya.

Percakapan berlanjut. “Yang cakep, putih, tinggi, indo gitu deh,” jawab yang satunya. “Kalo menurut lo?” ia balik bertanya.

“Menurut gue, cowok yang seksi itu yang agak-agak bad boy gitu deh,” jawab yang pertama kali bertanya tadi.

“Ah, kalo menurut gue cowok seksi itu yang smart, dewasa, matang,” jawab yang satunya lagi.

Terus terang saya ngakak begitu mendengar percakapan itu. Yak opo seh, mosok tanya jawab wagu seperti itu mesti muncul di acara yang sebetulnya ndak wagu-wagu amat? Apa yang ngatur acara itu ndak punya pertanyaan lain, sih?

Ah, tapi biarlah. Mungkin penonton yang lain menyukainya. Saya saja yang terlalu cerewet bin nyinyir mengomentari acara yang mestinya memang ndak perlu dikomentari itu.

Tapi, ngomong-omong, menurut sampean cowok seksi itu yang seperti apa sih, Ki Sanak? Saya seksi ndak?

Baca lanjutannya ...

07 September 2007

A Letter to A Friend

Setiap perjuangan selalu melahirkan sejumlah pengkhianat dan para penjilat. Jangan kau gusar, Hadi. — Taufik Ismail (1966)

Saya ingat, Paklik Isnogud membacakan sajak itu ketika hari-hari itu para penjilat, para pengkhianat, berseliweran di luar. Mereka bukan lagi menjadi bagian dari kami. Mereka sudah di luar pagar. Tapi, gonggongannya masih kerap membuat bising telinga kami yang memang belum tuli.

Hari-hari ini, saya ingat lagi sajak itu. Ketika para pengkhianat kembali mencabik-cabik kepercayaan. Ketika para penjilat makin berani menadah ludah orang lain.

Ah, untunglah, kami selalu ingat pesan Taufik Ismail. Jangan kau gusar, Hadi …

:: untuk M dan teman-teman ::
[In memoriam, 7 September 2004]

PS: Menurut sampean, para penjilat dan pengkhianat itu sebaiknya diapain, Ki Sanak?

Baca lanjutannya ...

06 September 2007

Don't Do That, Private!

Inilah surat edaran yang bikin resah sebagian warga Jakarta beberapa hari ini.



Saya mendapatkan surat edaran ini dari seorang tetangga kemarin pagi. Katanya, surat itu beredar dari satu ibu ke ibu yang lain di pasar kompleks perumahan kami. Entah siapa yang mengedarkannya.

Ibu-ibu, kata tetangga saya itu, agak-agak panik setelah membaca surat edaran yang dikeluarkan dan diteken oleh anggota marinir, lengkap dengan cap resmi. Kenapa?

“Karena dalam daftar itu ada beberapa merek makanan yang biasa dikonsumsi anak-anak mereka, Mas,” jawab tetangga saya.

Ibu-ibu itu sebetulnya antara percaya dan tidak pada surat itu. Maklum, sekarang kan musim tipu-menipu lewat fotokopian seperti itu. “Tapi, yang ini lain. Ada tanda tangan dari marinir je, orang berpangkat. Itu yang bikin keder, Mas,” kata tetangga saya.

Saya mesem. Lah wong marinir ki juga manusia je. Mosok bikin keder? Halah.

“Masalahnya, kita kan ndak tahu kepada siapa harus bertanya, Mas. Kita ndak tahu surat itu beneran atau apus-apus, bohongan. Mereka belum pernah mendengar penjelasan dari pemerintah atau Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Media massa pun belum banyak yang memberitakannya,” katanya.

Untungnya, saya memang sudah membaca berita tentang surat yang bikin heboh itu. Situs-situs berita bahkan sudah menayangkan klarifikasi Kepala Dinas Penerangan Marinir Letnan Kolonel Novarin Gunawan tentang surat edaran itu.

Intinya, menurut pak letnan kolonel itu, surat edaran itu memang berasal dari korps marinir yang bermarkas di Cilandak, Jakarta Selatan. Dikeluarkan pada 10 Agustus 2007. Saya heran, kenapa surat itu baru sampai di kompleks perumahan saya kemarin? Ah, mungkin karena saking terpencilnya kampung saya.

Tapi, kata pak letnan kolonel, surat itu sebetulnya hanya untuk kepentingan internal. Pak letnan kolonel ndak tahu mengapa surat itu bisa keluar dan siapa yang mengedarkannya.

Pak letnan kolonel juga mengakui bahwa laboratorium Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Ramelan, Surabaya, yang menjadi rujukan edaran itu tak berwenang mengeluarkan rekomendasi tentang makanan. Laboratorium itu hanya mengurus penelitian medis, dan bukan penelitian makanan.

Lah, lab medis seperti itu kok bisa dijadikan rujukan ya? Bukankah [dengan segala kekurangannya] hanya Badan Pengawasan Obat dan Makanan yang mestinya berwenang mengeluarkan daftar seperti itu?

Aha, rupanya ada yang kelebihan energi dan inisiatif. Lalu, orang itu bikin surat edaran yang bikin publik resah. Memang pak letnan kolonel itu sudah minta maaf. Tapi, mbok ya lain kali hati-hati dong, Pak. Biar masyarakat yang memang gampang terbakar isu ini ndak cepat resah juga.

Lagi pula, setahu saya marinir itu tugasnya ngurusin pertahanan dan keamanan, bukan makanan. Kenapa sekarang melakukan diversifikasi tugas? Jangan mentang-mentah, ah …

Bukan begitu, Ki Sanak?

Baca lanjutannya ...

05 September 2007

Rest in Peace, Pal ...

Berita duka itu masuk via SMS ke handphone saya. Pengirimnya Mbakyu Enny dan Mas Bangsari. Mereka mengabarkan bahwa seorang kawan kita sesama blogger, Susiawan Wijaya alias Wawan, meninggal dalam sebuah kecelakaan di laut Aceh pada 2 September 2007. Jenazahnya sudah dimakamkan di kampung halamannya di Jember, Jawa Timur.

Wawan adalah pemilik blog Just Ducky. Seperti yang tertulis di halaman About, Susiawan menjelaskan profilnya begini:

Susiawan Wijaya a.k.a bebek is an anime lovers, noodle maniac, hate lies, hate durian, RPG’s lovers especially Final Fantasy series. Temporary lives in Syiah Kuala, Banda Aceh, Spend my chilhood in Jember until i got to go to the university. During that time i lived in Malang (still in East Java). But not too long i’ve got to go back and finished my study in Jember. Nowadays lives in Banda Aceh, working and searching (of what? *blank*). Born on March 1st, 197* in Jember, East Java.

Proud to be an Indonesian Blogger. Being a blogger since 2003, when a friend influenced his habit in writing through online media like Weblog. Knowing nothing about blogging though never give give up and fully loaded headed stubborn in trying and trying. Using pure HTML when the first time starting to blog, but in 3 month i have changed my way of blogging from using pure manual posting which is tiring and the appearance was poor to blogspot.


Seorang lelaki yang baik, seorang blogger yang bangga menjadi orang Indonesia telah pergi, Ki Sanak. Kali ini giliran Susiawan, besok mungkin kita. Siapa yang tahu?

Mari kita tundukkan kepala sejenak untuk mendoakan almarhum. Semoga sampean semua memaafkan segala kekhilafan almarhum. Semoga pula Gusti Allah memberikan tempat yang terbaik untuk almarhum. Selamat jalan, Wan ...

Baca lanjutannya ...

Inspiring Post

Sebuah posting adalah inspirasi bagi orang lain. Saya mendapatinya pada sebuah blog yang baru saya temukan. Langit biru namanya.

Terus terang saya ndak kenal siapa pemilik blog itu. Pun saya ndak tahu dia itu laki-laki atau perempuan.

Tapi, begitu saya membaca tiga tulisan yang ada di blog itu, saya jadi bungah dan merasa terhormat karena salah satu posting saya ternyata telah memberinya inspirasi untuk membuat posting lanjutan.

“Halah. Tapi, jan-jane sampean yo bangga to, Mas?” tanya Paklik Isnogud, sedikit menyindir.

Saya nyengir.

“Ndak apa-apa kok, Mas. Wajar. Manusiawi,” kata Paklik sambil mesam-mesem. Saya tahu, ia sedang mengejek saya.

“Ah, Paklik suka gitu deh,” balas saya sedikit malu.

“Tapi, ngomong-omong tentang inspirasi, saya jadi ingat Richard Nixon, Mas. Sampean tahu siapa dia, kan? Nixon pernah berujar, Politik itu puisi. Tapi, tak semua politikus bisa menjadi penyair.”

“Apa hubungannya dengan inspirasi, Paklik?”

“Begini, Mas. Menurut Nixon, kebanyakan politikus di muka bumi ini tak lebih dari sekadar sebuah word processor. Word processor memang sesuatu yang mekanistis, tak punya inspirasi sendiri, dan juga tak punya roh untuk memberi inspirasi kepada orang lain.

Ia mungkin sebuah otak yang piawai, tapi ia dingin. Ia berbicara kepada kita dengan bahasa yang sudah tertentu. Ia bisa berpidato dan tersenyum dan mencium pipi bayi, tapi ia tak punya showmanship.

“Sik, sik, Paklik … Saya kok mendadak seperti sampean ingatkan pada seseorang yang saya kenal. Sampean sedang bicara tentang politikus di Amerika, dan bukan politikus kita di sini, kan?”

“Tentu saja bukan, Mas. Kita tahu, Nixon mengambil perumpamaan itu untuk menyindir Michael Dukakis, calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat. Jadi ya sampean boleh-boleh saja memakai perumpamaan itu juga di sini. Sama-sama dari Demokrat juga kan, hehehe …

Tapi, jangan lupa, Mas. Inspirasi sudah tentu bukan hanya datang dari serangkaian pesan. Dalam hal Martin Luther King Jr., inspirasi itu lebih dari sekadar kata.

Pada mulanya memang kata, tetapi di dalam kata itu ada dirinya, seluruh dirinya - jiwanya dan badannya, kehidupan dan kematiannya.

Pada mulanya adalah kata, tapi pada mulanya itu juga perbuatan. Dan selanjutnya: pengorbanan. Martin Luther King pun kemudian mati ditembak orang, bukan?”

“Halah. Lah kok sampai ke Martin Luther King segala sih, Paklik? Sampean ki kalau ngomong suka nggladrah, belok ndak keruan ke mana-mana. Sudah ah, saya mau kerja dulu.”

“Kerja atau cari inspirasi, Mas?”

“Asyem. Sak karep sampeanlah, Paklik …. ”

Paklik ngakak.

Sampean apa ya mau ikut ngakak, Ki Sanak? Atau ikut saya mencari inspirasi saja?

Baca lanjutannya ...

17 March 2007

I am loosing Indonesia

Saya kehilangan Indonesia. Rasanya baru kemarin saya taruh di sela-sela halaman buku pelajaran sejarah KEBANGSAAN. Tapi, hari ini tak saya temukan lagi bekasnya.

Saya kehilangan Indonesia. Sepertinya kemarin saya masih melihatnya ada di laci kiri, persis di bawah laci HATI NURANI. Tadi ketika saya tengok lagi, eh sudah tak ada.

Saya kehilangan Indonesia. Saya ingat betul pernah menyimpannya di dalam lemari pakaian supaya tak digigit TIKUS dan dijamah ULAR BELUDAK. Kenapa tiada lagi bekasnya di antara gantungan-gantungan baju WARNA-WARNI itu?

Saya kehilangan Indonesia. Saya sudah bongkar tumpukan KEJUJURAN, KERAMAHAN, KEDERMAWANAN, tapi tetap tak ada jejaknya.

Saya kehilangan Indonesia. Padahal waktu itu saya masih sempat menikmati HUTAN, SUNGAI, UDARA, dan GUNUNG, yang melindunginya. Sekarang saya tak tahu ke mana perginya.

Adakah di antara sampean yang tahu di manakah gerangan Indonesia? Apakah kira-kira kita masih bisa membelinya lagi di kios sebelah? Tunai boleh, kredit pun mau.

Selamat hari Sabtu, Ki Sanak. Selamat mencari Indonesia ...

Baca lanjutannya ...

15 March 2007

Bloggers are liars

"Semua blogger penipu ... mayoritas di antara mereka adalah perempuan yang mengganggur."


Terus terang saya agak telat mengetahui kabar penting ini. Saya mengetahuinya secara kebetulan setelah singgah dan membaca posting seorang blogger Malaysia, JerryWho.

Posting yang sama juga saya temukan di bilik digital milik Michael Yip dan M. Shamsaiman. Wah, tampaknya ada gegeran di negeri jiran.

Kenapa? Dalam postingnya itu, tersebutlah berita bahwa Menteri Pariwisata Malaysia Tunku Adnan yang telah menyebut semua blogger itu penipu, dan 80 persen di antaranya adalah perempuan yang tak bekerja alias penganggur.

Hahaha ... Dia tak tahu, blogger di Indonesia bukan hanya tukang tipu, tapi juga tukang ndobos, suka iseng, jahil, njelehi, gombal, wagu, ramutu, nggedabrus, payah, pokoknya ngeselin dah.

Ki Sanak, simaklah apa yang dikatakan oleh Pakcik dari negara tetangga kita itu:

All bloggers are liars, they cheat people using all kinds of methods. From my understanding, out of 10,000 unemployed bloggers, 8,000 are women.


Adnan mengatakan hal itu kepada media pada 8 Maret yang lalu dalam sebuah acara "2007 Malaysia GP Sales" setelah dia ditanya tentang keluhan dan tulisan seorang perempuan pemandu acara televisi di blog perusahaannya.

“All bloggers are not in favour of national unity. Our country has been successful because we are very tolerant with each other, if not, there will be civil war, the Malays will kill the Chinese, the Chinese will take revenge and kill the Malays, and the Indian will kill everyone.”


Karena itu, Adnan meminta warga Malaysia agar jangan percaya begitu saja pada blogger, dan mempertaruhkan masa depan karena prestasi yang sudah dicapai selama 50 tahun Malaysia merdeka bukan sesuatu yang mudah.

“We have to show the world our positive attitude, if the world learn to be as tolerant as us, the world will be peaceful, without war or civil war.”


Hohoho ... saya seperti sedang mendengar seorang badut, err ... patriot bangsa yang sedang berpidato di atas mimbar untuk menyambut ulang tahun kemerdekaan negaranya.

Sebetulnya, Anda punya masalah apa Pakcik? Gigi berlubang? Bisul? Ambeien atau apa?

Baca lanjutannya ...

13 March 2007

Suicide mother

Apa lagi yang bisa kita katakan selain tragedi, ketika seorang ibu bunuh diri bersama empat anaknya?

Tersebutlah Mercy, bukan merek mobil, melainkan ibu berusia 35 tahun, warga Lowokwaru, Malang, Jawa Timur.

Tak tahan hidup menderita dalam belitan ekonomi pas-pasan, Mercy nekat mengakhiri hidup bersama empat anaknya yang masih kecil, yang tertua umur 11 tahun dan termuda 1,5 tahun.

Kita pun tersentak, kaget. Begitukah sulitnya kehidupan sampai seorang ibu hanya melihat satu jalan, commited suicide along with her children?

Paklik Isnogud termangu ketika saya menceritakan kisah Mercy itu. Berkali-kali ia menarik napas panjang dan mengembuskannya kuat-kuat sebelum akhirnya ia berkata perlahan, setengah berbisik.

"Seorang ibu, seorang perempuan ... orang-orang yang menanggung beban."

Saya diam menunggu kelanjutan kata-kata Paklik.

"Saya punya cerita tentang seorang ibu, Mas. Sampean mau mendengarnya?"

Saya mengangguk.

"Syahdan, seorang wanita yang keras hati pada suatu hari menulis, 'Semalam, setetes hidup telah terlepas dari ketiadaan.'

Sebuah nyawa memang mendarat di perutnya. Ia hamil. Tapi ia risau. Benih itu adalah benih tak sah dari seorang lelaki yang tak begitu mendapat tempat di hatinya. Haruskah ia kembalikan nyawa itu ke ketiadaan, ataukah ia akan hadirkan ia di bumi? Ia pilih yang terakhir.

Tapi kandungan itu begitu lemah, tubuhnya secara medis harus diistirahatkan untuk memungkinkan si bayi selamat. Beberapa hari ia patuh. Tapi ia wanita yang keras dan aktif dan harus bekerja untuk karirnya, sebagai wartawan.

'Dua minggu yang tak bergerak di tempat tidur sungguh berlebihan bagiku,' tulisnya kemudian. Ia seperti memrotes bahwa wanita harus jadi larva, untuk bayinya, maka ia pun mulai kembali bekerja kembali, bepergian kembali.

Dan bayi di perut itu pun mati.

Cerita ini mungkin akan jadi beres seandainya wanita keras itu pun bisa diam. Tapi ia kemudian ternyata menulis, sebuku penuh, kepada bayinya yang gagal: Surat Kepada Seorang Anak Yang Tak Pernah Lahir.

'Ulurkanlah tanganmu kepadaku,' kalimatnya bicara. 'Lihat, kini kau yang memimpinku, membimbingku. Tapi memang kau bukan sebutir telur, kau bukan ikan yang kecil: kau seorang anak! Kau telah tinggi sampai ke lututku. Bukan, malah ke hatiku ... '

Sentimental. Betapa aneh. Wanita itu adalah Oriana Fallaci, jurnalis yang pernah melemparkan mikrofon ke muka Muhammad Ali, dalam suatu wawancara yang meradang.

Seorang ibu pada akhirnya memang menanggung beban, ketika ia bisa memilih antara melahirkan atau tidak melahirkan. Ada kemerdekaan, tapi juga kesendirian dan rasa bersalah yang dalam.


Saya ndak tahu Mas, apakah Mercy yang sampean ceritakan itu juga menanggung rasa bersalah yang dalam."

Kami sama-sama diam. Di luar, angin menerbangkan dahan di tingkap merapuh. Pertanda apa ini, Ki Sanak? Dunia yang semakin tua?

Baca lanjutannya ...

A theatre on its own

It's about memorial place. A theatre. It's calledMegaria (aka Metropole). Pemiliknya sedang menjajakan bioskop ini. Tawaran penjualan bioskop yang beralamat di Jalan Pegangsaan Timur 21 itu saya baca di situs jual-beli IndoRealEstates.

Perantaranya memasang harga pembukaan Rp 151.099.000.000. Uang muka harus dibayar 50 persen dan pelunasannya dalam tempo 5 bulan. Ada komisi lumayan untuk mereka yang berhasil menjual. Sampean tertarik, Ki Sanak?

Sebagai sebuah bioskop, Megaria sangat monumental. Gedung ini diresmikan pada 1949 oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta.

"Metropole tergolong bioskop paling mewah di Jakarta waktu itu. Bioskop lain cuma misbar alias gerimis bubar," kata Paklik Isnogud. "Saya dulu sering ke sana. Biasa, malem mingguan, Mas."

"Pacaran ya, Paklik?"

"Hush, ngawur. Saya nonton dengan teman-teman perjuangan. Anak-anak Menteng juga. Setelah nonton, kami biasanya menyusuri Jalan Salemba, sekadar bertukar pendapat."

"Ah, ndak seru. Terlalu serius, Paklik. Tapi, ngomong-ngomong saya malah jarang nonton di bioskop lo. Sejak ada pemutar DVD dan pembajakan merajalela, saya lebih suka nonton film di rumah."

"Memang, bioksop sudah bukan tempat utama orang nonton film, Mas. Zaman sekarang ini, bioskop lebih menyerupai museum. Cuma dikunjungi orang-orang yang bernostalgia. Saya punya cerita tentang bioskop, Mas. Sampean mau mendengarkan?"

"Mau dong, Paklik."

"Syahdan, di kota kecil ada sebuah bioskop kecil. Sebuah kehidupan yang tak pernah cemerlang, di daerah miskin Italia Selatan, pada 1950-an.

Dalam film Cinema Paradiso, latar yang abu-abu hambar itu dengan ajaib bisa jadi kaya, bahagia, ramai, kocak, mengharukan, hanya karena bioskop kecil itu mendatangkan apa yang selama ini tak ada di sana, di kota kecil itu: fantasi, dongengan, selingan, dan pertautan dengan bagian-bagian dunia yang jauh, yang tak terjangkau di siang hari, ketika bioskop ditutup dan tak ada yang duduk melongo di depan layar putih.

Cinema Paradiso, oleh sebab itu, adalah film yang memberikan sebuah penghormatan kepada gambar-hidup.

Di kota kecil itu, sang padri Katolik memang dengan asyik menyensor semua adegan "tak bermoral" sebelum film dipertunjukkan. Ia, sembari menatap ke layar sendirian, akan meng- goyangkan lonceng kecil di tangan kanannya, "kelintingggg...", bila Humphrey Bogart mulai mendekatkan mulutnya ke bibir Ingrid Bergman. Dan si tukang putar bioskop "Paradiso" yang setia itu pun pasti akan mematuhinya.

Tapi sebuah film, Casablanca atau apa saja, biarpun tanpa adegan seks biarpun cengeng, dan biarpun tak masuk akal, rupanya punya kekuatan yang lebih.

Si tukang putar, yang tak terpelajar itu, yang hampir tiap hari dalam waktu sekian jam mengikuti setiap cerita yang disorotkannya ke layar, dengan mengagumkan bisa menyebutkan kalimat-kalimat arif untuk menasihati anak kecil sahabatnya. Tapi ia tak mengutip dari buku agama atau novel Dostoyewski. Ia mengutip kalimat John Wayne dalam The Sands of Iwo Jima.

Apakah John Wayne baginya dan ia bagi John Wayne? Apa Marilyn Monroe baginya dan ia bagi Marilyn Monroe?

Gambar-hidup adalah keajaiban yang tak cuma dilahirkan oleh teknologi, tetapi oleh kepandaian bercerita: ia menghubungkan sebuah dunia yang jauh di Hollywood dengan dunia-dunia lain yang sering terpisah satu sama lain.

Layar putih itu seakan-akan telah jadi makrokosmos yang bersentuhan terus-menerus dengan berjuta-juta mikrokosmos. Anak-anak dan orang muda di kota kecil Sisilia itu memandang dengan terangsang Marilyn yang menggairahkan dalam film Niagara.

Dan nun jauh di Amerika, di luar layar putih, dalam kehidupan nyata, Marilyn Monroe yang patah hati mengatakan, "Yang mencintaiku hanya mereka yang nonton aku di kursi belakang dan terangsang."

Gambar-hidup adalah keajaiban, tapi akhirnya yang ajaib pun tak bisa kekal. Di akhir Cinema Paradiso, gedung bioskop kecil itu diruntuhkan. Di tempat bangunan yang sudah tak laku itu akan berdiri sebuah supermarket.

Kota kecil itu telah berubah. Si anak kecil sudah besar. Ia sudah jadi orang kaya yang pulang karena sahabatnya, si tukang putar film, meninggal: sebuah isyarat tentang berakhirnya suatu masa.

Masa yang baru pun menyingsing. Gambar-hidup, yang dulu memberikan banyak kepada orang-orang udik itu, sudah tak laku lagi. Televisi mengambil alihnya.

Orang tak lagi berduyun bersama-sama ke bioskop "Paradiso", untuk berbareng ketawa atau terharu atau terangsang. Mereka kini akan tinggal duduk, di rumah masing-masing, memandang ke sebuah kotak.

Ada selalu sesuatu yang sentimentil dalam cerita yang menangisi masa lampau yang hilang di sebuah kota kecil. Dan Cinema Paradiso memang di sana-sini terasa cengeng dan kelewat manis ketika menengok ke masa ketika banyak hal belum berubah.

Tapi nostalgia adalah sesuatu yang 100% sah. Bukankah kita mulai menyukai kursi antik, arsitektur tua, masakan si embok, ketika yang disebut progress berlangsung, dan 1.000 gedung tinggi berdiri, jalan tol berbelitan, dan supermarket dan restoran berjejer, dan banyak jejak masa silam yang hilang?

Manusia selalu bergerak antara rasa ingin meninggalkan sebuah tempat dan rasa kangen untuk kembali. Kita seakan-akan takut hidup terapung-apung seperti gabus botol di laut luas yang tanpa sejarah.

Masa silam memang tak selamanya enak, tetapi ada sesuatu dalam diri kita yang seperti mengakui bahwa kita kini sebenarnya hidup bagaikan para pengungsi: serombongan manusia yang terusir.


Yang mengusir memang hasrat kita sendiri untuk hengkang dari kemiskinan, keterbelakangan, dan sejenisnya. Dalam film Cinema Paradiso, si anak dianjurkan sahabatnya -- si tukang putar film -- untuk pergi ke kota besar dan tak usah kembali: ia tampaknya tahu bahwa masa silam adalah bagian dari hidup yang tak akan bisa dikunjungi lagi.

Tetapi justru di situlah mendadak timbul sindrom pengungsi itu, yang dalam arti yang luas bukanlah cuma orang yang meninggalkan sebuah tempat.

"Kita harus menerima, meskipun dengan rasa enggan, fakta sederhana bahwa kita hidup dalam abad para pengungsi," kata Leszek Kowakoswski. Kita adalah, "migran, gelandangan, pengembara, yang gentayangan di benua-benua", yang mencoba menghangatkan sukma kita dengan kenangan tentang rumah-rumah kita yang dulu -- rumah rohani yang kini tak kita tempati lagi.

Paklik mengakhiri ceritanya dengan sendu. Saya tahu pasti, ia juga telah kehilangan sebagian rumahnya yang dulu.

Ngomong-ngomong, kapan sampean terakhir nonton di bioskop?

Baca lanjutannya ...

10 March 2007

Greed is good

Tiba-tiba saja Paklik Isnogud memanggil saya datang ke ruangannya pada sebuah siang yang mendung. Bukan sesuatu yang aneh sebetulnya, tapi begitu saya lihat di mejanya ada menu makan siang komplet, ikan bakar, tempe dan tahu goreng, lalap, dan sambal, saya jadi bertanya-tanya.

Paklik ulang tahun? Mau syukuran? Dapet lotere?

"Ada apa, Paklik?" saya bertanya sambil cengengesan. "Tumben ngajak makan siang, nih? Biasane pelit ... "

"Trembelane," Paklik mengumpat sambil berdiri. "Sini, duduk sini, Mas. Ndak onok opo-opo. Kebetulan tadi saya baru diundang seorang kawan untuk ndobos ndak keruan di pabriknya. Eh, lah kok pulangnya dikasih sangu. Lumayan buat beli makan siang, to?

"Wooo ... Pantes, menunya komplet. Kebetulan dari tadi saya juga belum makan. Cacing-cacing di dalam perut sudah teriak-teriak dari pagi."

"Ya sudah, ayo kita sikat makanan ini, Mas."

Tanpa disuruh dua kali saya langsung menyendok nasi dan mencuwil ikan bakar yang masih anget itu. Wah, maknyus bener rasanya ....

Sambil makan, Paklik berbicara ngalor-ngidul. Tentang undangan temannya tadi, tentang pabrik, tentang Jakarta yang tetap macet, tentang hidup, politik, kecelakaan Garuda di Jogja, juga gosip-gosip para artis. Paklik rupanya penggemar gosip juga, hehehe ...

Setelah makanan di meja tandas, kami pun mencuci tangan dan mengelap mulut. Paklik segera menyesap kupi pait dan menyalakan tembakau Marsbrand lintingannya. Sebentar kemudian, asap mengepul dari hidung dan mulutnya.

"Mari kita bicara tentang hasrat dan keserakahan," katanya.

"Halah. Berat betul obrolan sampean, Paklik."

"Lah sampean kan sudah kenyang, Mas. Jadi ya ndak apa-apa to saya ajak ngobrol yang berat-berat."

"Ya weslah, saya ngalah. Mana berani saya menolak ajakan Paklik yang sudah menyantuni anak yatim ini, hehehe ... "

"Sampean tahu," kata Paklik membuka obrolan, "Gordon Gecko pernah bilang Greed is good dalam film Wallstreet yang dibintangi oleh Michael Douglas itu. Nah, kalau kita bicara tentang hasrat, keserakahan, passion, juga kebahagiaan, saya jadi ingat sebuah cerita."

"Cerita apa lagi, Paklik?"

Syahdan, di luar pagoda suci di Kota Rangoon, seorang lelaki menunjukkan bungkusan kecil kepada para turis. Di dalamnya ada sejumlah batu jade dan rubi. Ia butuh uang: "Supaya saya bisa pergi ke Muangthai untuk belanja kemeja dan suku cadang mobil saya."

Tak ada yang tahu benar apa maunya lelaki itu. Adakah dia serakah? Atau sekadar seorang lelaki yang punya keinginan? Atau kebutuhan?

Saya tak tahu. Ada sejumlah orang yang naik perahu ke Moulmein. Kemudian mereka berangkat lagi ke sebuah desa yang tak berapa jauh. Di sana ada gajah-gajah yang membawa mereka melintasi gunung. Perjalanan menyeberang itu makan waktu sekitar 17 jam.

Mereka membawa bekal 400 kyat, sekitar 500 dolar. Separuh dari jumlah itu mereka pakai buat menyogok orang-orang Karen yang menjaga perbatasan. Separuhnya lagi buat orang Thai. Mereka tak merasa rugi: mereka penyelundup.

Siapakah yang mereka layani? Kerakusan?

Seorang pemikir yang masgul melihat dunia sekitarnya, pernah berkata, "Saya rasa, kini hanya di Burma orang berbahagia."

Bahagia -- kata itu bagus tapi aneh. Bagi pemikir itu, orang Burma berbahagia "karena mereka tak bertingkah laku seperti orang-orang yang penasaran di malam yang berkeringat di Kota Bangkok. Atau macam pria dan wanita yang resah di Jakarta. Atau seperti saudagar-saudagar yang tegang oleh uang di Kuala Lumpur dan Singapura.

Di kota-kota itu, bagi pemikir itu, bahagia telah kehilangan intinya. Rumah di daerah eksklusif, baju dengan nama desainer, parfum dengan nama Bvlgari, dan merk mobil dengan nama-nama bersinar -- termasuk sebuah Jaguar yang berharga Rp 1 miliar lebih -- menyebabkan manusia tergoda, memendam hasrat, belingsatan. Bila akhirnya mereka tak mendapat, mereka pun cemburu. Mereka terbakar.

Demikianlah, di luar Burma semua seperti terbakar: gemerlap tapi sengsara. Sang Budha tak didengar, ketika ia berbicara bahwa kelahiran itu menyakitkan, usia tua itu menyakitkan, gering itu menyakitkan, dan "tak memperoleh apa yang diiinginkan itu menyakitkan."

Di Burma, kata pemikir itu, Sang Budha -- dan sabdanya itu -- masih hidup dari pucuk Pagoda Shwedagon. Keinginan telah diminimalkan. Negeri ditutup, dan godaan benda-benda dari luar ditangkis.

Di Rangoon tak ada pantalon logro atau baggy. Yang nampak di tiap sudut hanya sarung longyi. Tak ada supermarket berjejer-jejer di jalanan, restoran cepat saji, tak ada etalase yang merangsang. Perdagangan dikekang oleh negara, agar semua pembujuk selera konsumen bisa dikendalikan.

Pada 1987, seorang wartawan Inggris yang jadi turis di Burma menulis, "penampilan Rangoon tetap seperti ketika ditinggalkan Inggris pada 1948."

Tapi, justru dalam keadaan seperti itulah, kata pemikir itu, "di Burma orang berbahagia".

Bagaimana dia bisa tahu? Entahlah. Dia bukan orang Burma. Dia bahkan tak pernah hidup dalam ketertutupan yang disebut "sosialisme" itu.

Sebaliknya, lelaki yang menjual batu jade dan rubi di luar pagoda suci itulah yang orang Burma. Penyelundup yang naik perahu ke Moulmeln untuk menyeberangi bukit-bukit itulah yang orang Burma. Juga para penadah: orang-orang yang, dalam kungkungan yang dipaksakan itu, ternyata bukan rahib dan ternyata menolak Burma untuk dijadikan biara.

Mereka memang tahu ada Sang Budha yang mengajarkan pembebasan dari rasa sakit, tapi mereka merasa lebih sakit untuk tak punya kosmetik, sigaret, T-shirt, wiski, dan mobil.

Bila pasar gelap berkecamuk dengan barang selundupan, itu adalah petunjuk, bahwa "orang Burma yang bahagia" itu hanya impian seorang pemikir yang masgul.

Tapi, bila di Burma pun orang tak berbahagia, siapa lagikah yang berbahagia? Orang Jakarta selalu resah? Atau penduduk Singapura, Hong Kong, Paris ... ?

Bila eksperimen Burma juga gagal, bagaimana membuat sebuah masyarakat agar tidak gila oleh nafsu "memiliki" yang tak pernah terpuaskan itu?

Mungkin kita harus mengakui keniscayaan keserakahan manusia, kata seorang pemikir lain, lalu kita bikin sistem yang bisa jalan yang menyebabkan keserakahan manusia tak menjadi destruktif.

Tapi, pemikir itu pun tak tahu bagaimana itu bisa dilahirkan. Ia cuma bisa memandang ke langit. Nun sana ada lapisan ozon yang berlubang: jejak mengerikan dari manusia yang abai -- dan berkali-kali gagal menentukan batas bagi dirinya, dan bagi hasratnya."

Cerita Paklik selesai begitu saja. Tiba-tiba saya merasa haus dan ingin segera meninggalkan ruangan Paklik ...

Baca lanjutannya ...

Police Sued LA Lights Advertisement

Free Image Hosting at allyoucanupload.com

Ki Sanak, sebentar lagi sampean mungkin ndak bakal melihat lagi iklan ini. Markas Besar Kepolisian RI telah mengirim somasi kepada produsen rokok itu dan biro iklannya. Untuk apa?

Melalui surat somasi itu, pak polisi meminta iklan itu dicabut karena dianggap telah mendiskreditkan dan mencemarkan nama baiknya [emang masih punya?].

"Somasi ini untuk menakut-nakuti mereka. Kalau tak ada reaksi, kami akan menyiapkan langkah selanjutnya," kata pak polisi.

Defamation is a common case here in Indonesia. But by a police office? Menurut sampean, apakah iklan itu memang telah mencemarkan nama baik kepolisian, Ki Sanak? Apakah somasi itu mengada-ada?

Baca lanjutannya ...

09 March 2007

'Cause Everybody Loves Tommy

Ndak usah heran kalau dia bisa membujuk para petinggi hingga sudi turun tangan ikut melancarkan pengambilan duitnya di London, Inggris. He succed his billion account claim at Paribas.

Lah wong ibu-ibu muda, janda-janda cantik, dan gadis-gadis bahenol pun kepincut pesonanya, apalagi cuma dua cecunguk kemaruk yang sangat merindukan rupiah.

Ndak usah heran jika hidupnya beruntung terus. Memang dia pernah dipenjara. Tapi, berapa banyak remisi yang diperolehnya -- melebihi narapidana yang lain dengan masa hukuman sama?

Memang dia gagal membina rumah tangga. Tapi, berapa banyak lagi rumah tangga yang runyam gara-gara ulahnya?

Tapi, tak usahlah juga kita iri padanya. Kenapa?

Ya karena Everybody Loves Tommy. Karena semua orang terpesona, tersihir, oleh daya pikat wajah dan kekayaannya yang bertumpuk-tumpuk di gudang seperti Paman Gober itu.

Dialah sang Pangeran Cendana, putra kinasih Eyang Sepuh yang sakit-sakitan juga itu. Anak lanang, lelananging jagad. Masih muda, kaya, nggguanteng pisan. Kita pasti susah deh, kalau mau menandinginya. Pendeknya, dialah juaranya para juara di negeri ini.

"Ah, juara apanya, Mas?" tanya Paklik Isnogud yang saya ajak bicara soal Mas Tommy, pereli dan pembalap mobil yang tak pernah juara itu.

"Lah, iya to, Paklik. Tommy itu kurang apa coba? Whealthy? Money? Women? Popularity? Handsome? Power? You name it."

"Buat saya sih, dia bukan siapa-siapa. Mungkin karena sikap saya adalah sikap kuno yang datang dari pengalaman lain. Saya telah terlalu percaya kepada sejumlah pepatah (misalnya, "bersakit-sakit dahulu ...."), terlalu percaya kepada dongeng Horatio Alger, terlalu terkesima kepada kisah Pandawa yang 13 tahun hidup bermukim di hutan.

Saya ingat teman-teman segenerasi saya yang datang dari udik entah berantah. Ada yang jadi mandor di pelabuhan dan dari sana memulai bisnis lalu akhirnya kini jadi eksportir besar. Ada yang membuka hidupnya dengan menjadi penyabit rumput, atau pembantu tukang sate, atau pembantu toko kembang -- dan dari sana naik jadi kisah-kisah sukses yang mengesankan.

Saya selalu merasa merekalah the real champions dalam hidup ini.

Mereka biasa naik kendaraan umum yang seperti kandang ayam. Mereka biasa makan bersama tukang becak, dengan menu sayur tempe yang cair peyek ikan teri yang telah tiga hari selalu digoreng kembali. Mereka bisa menyelinap ke pasar loak -- dan menjual kumpulan buku dan baju bekas, buat membayar bon makan mereka.

Mereka tak punya tempat merengek. Mereka malu untuk kembali mengetuk pintu rumah. Si bapak tak punya "koneksi". Tak ada perlakuan istimewa untuk dapat jabatan ataupun hak monopoli.

Tapi (menurut sebuah pikiran saya yang tak orisinil) merekalah benih penting bagi masa seguyah kini: benih para jagoan Schumpeterian. Benih para entreprenuer yang sebenarnya -- sebuah kata yang telah diterjemahkan menjadi wiraswasta yang artinya berani bekerja dengan tangan dan kaki sendiri, meskipun tak selalu dengan uang tabungan sendiri.

Merekalah para juara di mata saya. Tommy? Bisa apa dia?"

"Ah, sampean pasti cuma sirik aja ya, Paklik?"

Paklik diam saja dan tak menjawab pertanyaan saya. Seperti biasa, ia cuma tersenyum, lalu pergi.

Baca lanjutannya ...

03 March 2007

Are You Happy

Gara-gara menemukan berita tentang Dian "Indonesians Sweet Heart" Sastro yang dobel-dobel di dua koran -- juga dua situs -- itu, saya senyum-senyum sendiri sepanjang hari kemarin. Apalagi ketika saya melihat foto Dian yang ehm-ehm itu. Rasanya gimana gitu ...

Teman-teman saya di pabrik bahkan sampai terheran-heran melihat saya yang tampak gembira seperti pejudi ulung yang baru saja menang jackpot. Sampai-sampai Paklik Isnogud pun penasaran dan menghampiri saya.

"Tumben sampean tersenyum terus hari ini. Ada apa, Mas? Baru dapat lotere ya? Naik gaji?" tanya Paklik sedikit curiga.

"Ah enggak, Paklik. Ndak dapet apa-apa kok."

"Ndak dapet apa-apa, tapi kok wajahnya sumringah? Kayaknya bahagia betul. Pasti ada apa-apanya. Wah, iki mencurigakan ...."

"Hahaha ... Ndak usah curiga Paklik. Saya mesem-mesem sendiri karena lagi seneng lihat foto Dian Sastro ini lo."

"Haiyah. Lah wong cuma lihat foto saja kok sampai bisa bikin sampean bahagia. Sederhana amat," kata Paklik masih dengan nada curiga.

"Lah saya ini memang orang yang sederhana je, Paklik. Ndak neko-neko. Hal-hal yang mungkin sepele buat orang lain, mungkin justru sangat berarti untuk saya, Paklik. Mungkin justru membuat saya malah bahagia."

"Ah, yang bener, Mas? Memangnya hidup sampean bahagia? Apa sih sebetulnya yang membuat sampean bahagia dalam hidup ini?"

Adoh cilakak. Paklik kok mengajukan pertanyaan yang membuat saya terpaksa berpikir seribu kali sebelum menjawab. Rasanya susah betul menjawab pertanyaan Paklik. Tapi, karena saya kere yang pintar, tentu saja saya berusaha sebisa mungkin menyenangkan hati Paklik dengan segera menjawab pertanyaan itu.

"Sampean pengen tahu apakah hidup saya bahagia dan apa saja sih yang membuat saya bahagia? Begini Paklik. Sekarang yang gantian cerita ya dan sampean mendengarkan ya."

"Oke deh, Mas."

"Saya merasa hidup bahagia karena saya diberi Gusti Allah kesehatan. Itu yang paling penting. Karena saya sehat, saya ndak perlu merepotkan orang lain. Saya ndak perlu keluar duit untuk beli obat, bayar dokter, dan ongkos rumah sakit.

Coba kalau saya sakit. Simboke anak-anak pasti repot mesti ngurus saya. Bedes-bedes itu juga jadi keleleran karena ibunya sibuk merawat bapaknya dan ndak bisa menemani mereka membuat PR.

Saya bahagia karena saya sehat sehingga bisa bekerja mencari uang untuk memberi makan anak dan istri di rumah. Coba kalau saya sakit, siapa yang memberi mereka makan? Apa ya istri saya sendirian? Kan ndak enak juga Paklik."

"Wah, sampean bener juga, Mas. Apa lagi yang membuat sampean bahagia dalam hidup ini?"

"Keluarga yang menyenangkan. Saya punya istri yang setia, sederhana, pinter, masakannya enak, dan bisa ngopeni anak-anak. Simboke itu juga penuh pengertian lo. Ngerti kalau saya pas lagi ndak punya duit, dia ndak minta yang aneh-aneh. Ngerti kalau saya baru pulang kerja, dia menjerang air untuk saya mandi.

Meskipun kadang-kadang simboke itu suka ngomel kalau saya pulang malam, tapi itu kan sebetulnya tanda perhatian. Coba kalau dia diam saja. Jangan-jangan kalau saya ndak pulang dia malah seneng. Kan saya juga yang repot, Paklik.

Saya juga bahagia karena punya anak-anak yang sehat, lucu, dan menggemaskan. Meskipun kadang-kadang bedes-bedes itu suka ngeselin, bikin capek hati, tapi mereka itu ngangeni juga. Saya suka trenyuh kalau menatap wajah mereka yang sedang tidur pulas. Ndak nyangka mereka sudah besar-besar.

Anak-anak itu permata hati saya. Merekalah yang membuat hidup saya jadi lebih mudah seperti sekarang ini. Seberat apa pun persoalan yang saya hadapi, sebesar apa pun masalah yang harus saya selesaikan, anak-anak membantu saya melewatinya dengan mudah."

"Ckckck .... " Paklik berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Rupanya sampean ini dari golongan family man, suami yang baik dan cinta keluarga ya, Mas?"

"Siapa dulu dong, gurunya. Kan saya niru Paklik juga."

"Halah, lambemu Mas. Terus apa lagi yang bikin sampean bahagia?"

"Nah, ini juga penting dan membuat saya bahagia, Paklik. Saya punya pekerjaan yang memang saya sukai. Pekerjaan ini membuat saya jadi seseorang yang memang saya inginkan.

Gajinya mungkin ndak seberapa. Tapi, bukan itu yang penting. Gaji, uang, memang penting, tapi bukan segalanya buat saya."

"Ehm ... Ehm ...." Paklik berdehem.

"Loh bener Paklik. Pekerjaan ini mungkin ndak membuat saya kaya raya, sugih bondo, atau berlimpah harta, tapi membuat saya tambah ilmu, pengalaman, dan kenalan. Jiwa dan batin terisi penuh. Saya melakoni pekerjaan ini dengan kesungguhan, passion. Labor of love."

"Wuih, nggaya betul sampean nganggo boso Inggris segala .... " kata Paklik sedikit mencibir.

"Hehehe ... Nah, pekerjaan ini setidaknya membuat saya mampu memberi keluarga saya kebutuhan dasar: pangan, sandang, dan papan. Kadang-kadang ada sedikit rejeki buat hiburan, mengajak anak-anak jalan-jalan sekadar melihat pemandangan. Ini yang membuat saya bahagia, Paklik."

"Ada lagi?"

"Terakhir, saya merasa bahagia dalam hidup ini karena punya kerabat yang rukun-rukun selalu. Mereka juga dilimpahi kesehatan dan sedikit rejeki dari Gusti Allah. Saya juga punya banyak teman yang baik, yang bersedia menolong dalam kesulitan. Bahwa ada yang ndak suka sama saya, itu urusan mereka. Bukan urusan saya.

Hidup saya ndak neko-neko. Saya sudah punya semuanya: kesehatan, keluarga, pekerjaan, sanak saudara, dan sahabat. Itu semua sudah membuat saya hidup bahagia. Apa lagi yang kurang?

Ngomong-ngomong, sampean sendiri apa ya sudah hidup bahagia, Paklik? Apa sih, yang membuat hidup sampean bahagia? Paklik ... Paklik ... Paklik ... Lik .... Loh, malah minggat! Payah .... "

Ya sudah, pertanyaan itu untuk sampean saja, Ki Sanak. Are you happy? What makes you happy?

Baca lanjutannya ...

02 March 2007

Dian Sastro and Sites Cloning

Terus terang, saya suka Dian Sastro. Ya, ya, ya ... Dian yang mahasiswi sekaligus bintang film dan sinetron itu. Gadis yang disebut-sebut sebagai "Indonesians Sweet Heart" itu. Celebrity. Obyek buruan para photographer. Tahu, kan?

Karena itu, jangan heran bila saya nyaris selalu membaca semua berita tentang Dian. Halah. Dan, pagi ini saya dikagetkan oleh sebuah berita tentang Dian.

Sampean ndak usah bingung dulu, Ki Sanak. Saya bukan mau cerita tentang perempuan bernama lengkap Diandra Paramitha Sastrowardoyo itu. Tapi, saya cuma mau cerita tentang sebuah berita kembar tentang Dian di dua media cetak yang berbeda.

Kenapa saya sebut kembar?

Saya sebut kembar karena dua berita di dua harian itu 99 persen identik. Judulnya saja yang agak berbeda. Judul di koran pertama, "Dian Sastro. Lebih Suka Rambut Pendek."

Image Hosted by ImageShack.us

Di koran kedua, judulnya, "Dian Sastro. Suka yang Pendek."

Image Hosted by ImageShack.us

Selain judul yang agak berbeda itu, isi berita di dua website koran itu sama persis, sampai ke titik koma. Halah. Sampean bisa mengecek langsung ke website media yang bersangkutan.

Pertanyaan saya, kok bisa? Tahukah sampean, kenapa ini bisa terjadi?

Baca lanjutannya ...

01 March 2007

Student cheated at school

Ibunya anak-anak belakangan ini sering ngomel. Bukan karena jatah uang belanja berkurang. Bukan karena saya lirak-lirik perempuan lain. Bukan pula lantaran saya berbuat salah.

Bukan, Ki Sanak. Bukan karena itu. Mosok priyayi berbuat salah yang ndak perlu. Ya toh?

Simboke bedes-bedes itu ngomel-ngomel karena mengetahui si sulung yang masih kelas 1 SD itu suka nyontek di sekolah. "Hladalah. Nyontek? Mau jadi apa anak itu?" Begitu kata istri saya.

Saya cuma tersenyum saat dia melaporkan "pandangan mata"-nya itu tentang kelakukan si sulung di sekolah. Priyayi je, pantang marah dong.

"Mas kasih tahu dong, anak sekolah itu nggak boleh nyontek. Jangan diem aja. Jangan cuma senyam-senyum."

Kali ini giliran saya yang ketiban pulung dan kena omelan. Wadoh, cilakak tenan. Ini ndak beres. Mosok priyayi diomeli, ya toh?

Jadilah saya melapor ke Paklik Isnogud perihal istri saya yang ngomel-ngomel itu gara-gara anak saya nyontek. Maksud saya sekalian mau nanya, apa yang mesti kita lakukan kalau anak-anak mulai belajar nyontek di sekolah?

Eh, lah kok Paklik Isnogud malah tertawa ngikik ketika saya menjura di hadapannya. "Lah sampean ini ya aneh kok, Mas. Ngapain bingung? Biarin saja anak sampean nyontek. Nyontek apa sih? Paling jawaban matematika temannya kan? Kayak sampean dulu ndak pernah nyontek aja waktu sekolah."

"Loh, Paklik ini gimana sih kok malah mbukak rahasia. Biarpun saya dulu suka nyontek, tapi kan sekarang saya jadi andalan sampean, terutama kalau nagih utang pelanggan. Ya toh?"

"Nah, itu jawabannya. Yang penting kan sekarang. Ndak peduli dulu sampean ini tukang nyontek, ndak peduli waktu kecil dulu sampean tukang nglirik jawaban ulangan teman di bangku sebelah, yang penting itu sekarang ini sampean bisa menyelesaikan persoalan dengan kearifan.

Sampean bahkan boleh menghitung dengan kalkulator kalau mau ngitung utang pelanggan. Sampean ndak dilarang bukan kamus sewaktu bicara dengan klien asing. Yang penting pelanggan mau dan bisa melunasi utangnya. Beres. Begitu kan, Mas?"

"Wah, ya ndak bisa begitu Paklik. Anak-anak harus diajari yang benar sejak kecil biar setelah dewasa nanti juga bisa menyelesaikan persoalan dengan benar."

"Oke, oke ... Begini, Mas. Sebelum sampean naik darah, lebih baik sampean mendengarkan cerita saya. Mau ndak?"

"Kalau Paklik yang cerita, ya mau dong."

"Baiklah, Mas. Ini kisah tentang Rabindranath Tagore yang berhenti sekolah pada usia 13 tahun. Kemudian ia jadi penyair. Kemudian ia jadi pemikir India paling terkemuka hingga hari ini: orang Asia pertama yang mendapatkan Hadiah Nobel untuk kesusastraan.

Pada 1924, ia berbicara kepada para guru tentang pengalaman pendidikannya itu.

"Sering aku hitung tahun-tahun yang harus kujalani sebelum aku memperoleh kemerdekaanku," katanya ketika ia berkunjung ke Tiongkok – seolah-olah sekolah adalah sebuah penjara. Seakan-akan sekolah sebuah tempat menuntut ilmu yang pengap, sebelum seorang anak boleh pergi setelah dianggap jadi."

"Betapa inginnya saya," kata Tagore mengenang, "untuk dapat melintasi masa 15 atau 20 tahun yang menghalang itu, dan dengan semacam sihir gaib, serta-merta jadi seorang dewasa."

Sayang sekali, dalam kehidupan sehari-hari tak ada sihir gaib seperti itu. Ritus itu harus. Masa sekolah bahkan kewajiban dengan perintah dan undang-undang. Anak-anak boleh merasa, seperti Tagore, prosedur itu "siksaan".

Tapi, bahkan kita pun punya pepatah "berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian...." Gatotkaca juga harus diproses di dalam Kawah Candradimuka yang mendidih sebelum jadi kesatria.

Yang jadi soal bukanlah perlu atau tidaknya bersakit-sakit dahulu. Yang jadi soal ialah bagaimana kita menghubungkan latihan hari ini untuk menghadapi hari nanti.

Dengan kata lain, jika sekolah memang dibutuhkan untuk menyiapkan anak-anak bagi hdup mereka kelak, pokok perkaranya terletak pada apa itu kelak.

"Kelak" adalah suatu masa ketika seorang anak, yang jadi dewasa, tak perlu harus menghafal rumus. Ia toh dapat dengan mudah melihatnya pada buku petunjuk. Tak perlu menghitung dengan mencongak. Ia bisa memperoleh hasilnya dengan kalkulator.

Dengan kata lain, dalam hidup sehari-hari seorang dewasa, tak ada pengertian buruk tentang nyontek untuk mendapatkan informasi.

Nyontek itu halal, bahkan dipujikan. Tolol sekali jika Anda tak memanfaatkan komputer, memubazirkan kamus, dan tak tahu apa manfaatnya ensiklopedi. Bodoh jika kita - dalam memperkaya diri dengan input – tak hendak bertanya kepada orang lain yang lebih tahu.

Karena itu, sungguh menakjubkan sebenarnya, bagaimana repotnya sekolah-sekolah kita melarang nyontek. Seakan menghafal data, menutup diri dari teknologi informasi dan menempuh jalan yang tak efisien dalam memperoleh pengetahuan itu semua termasuk "syarat" Kawah Candradimuka.

Atau, semua itu barangkali perlu untuk meneguhkan status guru, dan sekolah, sebagai satu-satunya sumber. Tapi, bila demikian halnya, proses nyontek yang dilarang itu justru dipraktekkan terang-terangan: hanya kali ini sang murid nyontek dari sang pengajar, bukan dari sumber informasi yang luas terbentang di kehidupan.

Tampak sekilas, agaknya, betapa jauh akhirnya latihan di sekolah itu berjarak dari kenyataan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, yang tak bisa disontek bukanlah informasi, yang kini disebarkan ke tiap penjuru dengan kecepatan yang mengagetkan.

Yang tak bisa disontek adalah bagaimana mengolah informasi itu, menjadi pengetahuan dan kearifan. Karena pengetahuan, dan terutama kearifan, pada tiap-tiap orang akhirnya berbeda.


Itulah "kelak" yang akan ditemui setiap anak. Itulah lanskap yang nyata, yang menyebabkan Kawah Candradimuka kita memang seperti kehilangan makna. Mungkin itu sebabnya sekolah berada dalam kritik, generasi yang dimuntahkannya selalu terasa kurang bermutu dan remaja itu sendiri membelot.

Tagore memang tak sepenuhnya benar. Sekolah bukan "siksaan" dan guru serta para orangtua bukan tiran. Anak-anak dengan senang hati toh umumnya tetap berangkat ke sana. Tapi kita, dan mereka, tahu: bukan mata pelajaran serta ruang kelas itu yang membikin mereka betah. Melainkan teman dan pertemuan.

Sebab, sekolah memang tempat tiap anak bersentuhan dengan kehidupan, tempat saling nyontek, dan tempat segala latihan yang tak ada di depan papan tulis: tempat untuk menjadi riil.

"Kita tahu," kata Tagore pula, "anak-anak adalah mereka yang mencintai debu."

"Wah ... hebat betul ceritanya. Jadi, anak saya boleh nyontek ya, Paklik?"

Paklik Isnogud tak menjawab. Ia cuma tersenyum memamerkan kearifan dan keteduhan bak telaga yang bening. Kids cheating at school: cheating, learning or studying?

Bagaimana menurut sampean, Ki Sanak?

Baca lanjutannya ...