09 March 2007

'Cause Everybody Loves Tommy

Ndak usah heran kalau dia bisa membujuk para petinggi hingga sudi turun tangan ikut melancarkan pengambilan duitnya di London, Inggris. He succed his billion account claim at Paribas.

Lah wong ibu-ibu muda, janda-janda cantik, dan gadis-gadis bahenol pun kepincut pesonanya, apalagi cuma dua cecunguk kemaruk yang sangat merindukan rupiah.

Ndak usah heran jika hidupnya beruntung terus. Memang dia pernah dipenjara. Tapi, berapa banyak remisi yang diperolehnya -- melebihi narapidana yang lain dengan masa hukuman sama?

Memang dia gagal membina rumah tangga. Tapi, berapa banyak lagi rumah tangga yang runyam gara-gara ulahnya?

Tapi, tak usahlah juga kita iri padanya. Kenapa?

Ya karena Everybody Loves Tommy. Karena semua orang terpesona, tersihir, oleh daya pikat wajah dan kekayaannya yang bertumpuk-tumpuk di gudang seperti Paman Gober itu.

Dialah sang Pangeran Cendana, putra kinasih Eyang Sepuh yang sakit-sakitan juga itu. Anak lanang, lelananging jagad. Masih muda, kaya, nggguanteng pisan. Kita pasti susah deh, kalau mau menandinginya. Pendeknya, dialah juaranya para juara di negeri ini.

"Ah, juara apanya, Mas?" tanya Paklik Isnogud yang saya ajak bicara soal Mas Tommy, pereli dan pembalap mobil yang tak pernah juara itu.

"Lah, iya to, Paklik. Tommy itu kurang apa coba? Whealthy? Money? Women? Popularity? Handsome? Power? You name it."

"Buat saya sih, dia bukan siapa-siapa. Mungkin karena sikap saya adalah sikap kuno yang datang dari pengalaman lain. Saya telah terlalu percaya kepada sejumlah pepatah (misalnya, "bersakit-sakit dahulu ...."), terlalu percaya kepada dongeng Horatio Alger, terlalu terkesima kepada kisah Pandawa yang 13 tahun hidup bermukim di hutan.

Saya ingat teman-teman segenerasi saya yang datang dari udik entah berantah. Ada yang jadi mandor di pelabuhan dan dari sana memulai bisnis lalu akhirnya kini jadi eksportir besar. Ada yang membuka hidupnya dengan menjadi penyabit rumput, atau pembantu tukang sate, atau pembantu toko kembang -- dan dari sana naik jadi kisah-kisah sukses yang mengesankan.

Saya selalu merasa merekalah the real champions dalam hidup ini.

Mereka biasa naik kendaraan umum yang seperti kandang ayam. Mereka biasa makan bersama tukang becak, dengan menu sayur tempe yang cair peyek ikan teri yang telah tiga hari selalu digoreng kembali. Mereka bisa menyelinap ke pasar loak -- dan menjual kumpulan buku dan baju bekas, buat membayar bon makan mereka.

Mereka tak punya tempat merengek. Mereka malu untuk kembali mengetuk pintu rumah. Si bapak tak punya "koneksi". Tak ada perlakuan istimewa untuk dapat jabatan ataupun hak monopoli.

Tapi (menurut sebuah pikiran saya yang tak orisinil) merekalah benih penting bagi masa seguyah kini: benih para jagoan Schumpeterian. Benih para entreprenuer yang sebenarnya -- sebuah kata yang telah diterjemahkan menjadi wiraswasta yang artinya berani bekerja dengan tangan dan kaki sendiri, meskipun tak selalu dengan uang tabungan sendiri.

Merekalah para juara di mata saya. Tommy? Bisa apa dia?"

"Ah, sampean pasti cuma sirik aja ya, Paklik?"

Paklik diam saja dan tak menjawab pertanyaan saya. Seperti biasa, ia cuma tersenyum, lalu pergi.

0 comments: