13 March 2007

A theatre on its own

It's about memorial place. A theatre. It's calledMegaria (aka Metropole). Pemiliknya sedang menjajakan bioskop ini. Tawaran penjualan bioskop yang beralamat di Jalan Pegangsaan Timur 21 itu saya baca di situs jual-beli IndoRealEstates.

Perantaranya memasang harga pembukaan Rp 151.099.000.000. Uang muka harus dibayar 50 persen dan pelunasannya dalam tempo 5 bulan. Ada komisi lumayan untuk mereka yang berhasil menjual. Sampean tertarik, Ki Sanak?

Sebagai sebuah bioskop, Megaria sangat monumental. Gedung ini diresmikan pada 1949 oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta.

"Metropole tergolong bioskop paling mewah di Jakarta waktu itu. Bioskop lain cuma misbar alias gerimis bubar," kata Paklik Isnogud. "Saya dulu sering ke sana. Biasa, malem mingguan, Mas."

"Pacaran ya, Paklik?"

"Hush, ngawur. Saya nonton dengan teman-teman perjuangan. Anak-anak Menteng juga. Setelah nonton, kami biasanya menyusuri Jalan Salemba, sekadar bertukar pendapat."

"Ah, ndak seru. Terlalu serius, Paklik. Tapi, ngomong-ngomong saya malah jarang nonton di bioskop lo. Sejak ada pemutar DVD dan pembajakan merajalela, saya lebih suka nonton film di rumah."

"Memang, bioksop sudah bukan tempat utama orang nonton film, Mas. Zaman sekarang ini, bioskop lebih menyerupai museum. Cuma dikunjungi orang-orang yang bernostalgia. Saya punya cerita tentang bioskop, Mas. Sampean mau mendengarkan?"

"Mau dong, Paklik."

"Syahdan, di kota kecil ada sebuah bioskop kecil. Sebuah kehidupan yang tak pernah cemerlang, di daerah miskin Italia Selatan, pada 1950-an.

Dalam film Cinema Paradiso, latar yang abu-abu hambar itu dengan ajaib bisa jadi kaya, bahagia, ramai, kocak, mengharukan, hanya karena bioskop kecil itu mendatangkan apa yang selama ini tak ada di sana, di kota kecil itu: fantasi, dongengan, selingan, dan pertautan dengan bagian-bagian dunia yang jauh, yang tak terjangkau di siang hari, ketika bioskop ditutup dan tak ada yang duduk melongo di depan layar putih.

Cinema Paradiso, oleh sebab itu, adalah film yang memberikan sebuah penghormatan kepada gambar-hidup.

Di kota kecil itu, sang padri Katolik memang dengan asyik menyensor semua adegan "tak bermoral" sebelum film dipertunjukkan. Ia, sembari menatap ke layar sendirian, akan meng- goyangkan lonceng kecil di tangan kanannya, "kelintingggg...", bila Humphrey Bogart mulai mendekatkan mulutnya ke bibir Ingrid Bergman. Dan si tukang putar bioskop "Paradiso" yang setia itu pun pasti akan mematuhinya.

Tapi sebuah film, Casablanca atau apa saja, biarpun tanpa adegan seks biarpun cengeng, dan biarpun tak masuk akal, rupanya punya kekuatan yang lebih.

Si tukang putar, yang tak terpelajar itu, yang hampir tiap hari dalam waktu sekian jam mengikuti setiap cerita yang disorotkannya ke layar, dengan mengagumkan bisa menyebutkan kalimat-kalimat arif untuk menasihati anak kecil sahabatnya. Tapi ia tak mengutip dari buku agama atau novel Dostoyewski. Ia mengutip kalimat John Wayne dalam The Sands of Iwo Jima.

Apakah John Wayne baginya dan ia bagi John Wayne? Apa Marilyn Monroe baginya dan ia bagi Marilyn Monroe?

Gambar-hidup adalah keajaiban yang tak cuma dilahirkan oleh teknologi, tetapi oleh kepandaian bercerita: ia menghubungkan sebuah dunia yang jauh di Hollywood dengan dunia-dunia lain yang sering terpisah satu sama lain.

Layar putih itu seakan-akan telah jadi makrokosmos yang bersentuhan terus-menerus dengan berjuta-juta mikrokosmos. Anak-anak dan orang muda di kota kecil Sisilia itu memandang dengan terangsang Marilyn yang menggairahkan dalam film Niagara.

Dan nun jauh di Amerika, di luar layar putih, dalam kehidupan nyata, Marilyn Monroe yang patah hati mengatakan, "Yang mencintaiku hanya mereka yang nonton aku di kursi belakang dan terangsang."

Gambar-hidup adalah keajaiban, tapi akhirnya yang ajaib pun tak bisa kekal. Di akhir Cinema Paradiso, gedung bioskop kecil itu diruntuhkan. Di tempat bangunan yang sudah tak laku itu akan berdiri sebuah supermarket.

Kota kecil itu telah berubah. Si anak kecil sudah besar. Ia sudah jadi orang kaya yang pulang karena sahabatnya, si tukang putar film, meninggal: sebuah isyarat tentang berakhirnya suatu masa.

Masa yang baru pun menyingsing. Gambar-hidup, yang dulu memberikan banyak kepada orang-orang udik itu, sudah tak laku lagi. Televisi mengambil alihnya.

Orang tak lagi berduyun bersama-sama ke bioskop "Paradiso", untuk berbareng ketawa atau terharu atau terangsang. Mereka kini akan tinggal duduk, di rumah masing-masing, memandang ke sebuah kotak.

Ada selalu sesuatu yang sentimentil dalam cerita yang menangisi masa lampau yang hilang di sebuah kota kecil. Dan Cinema Paradiso memang di sana-sini terasa cengeng dan kelewat manis ketika menengok ke masa ketika banyak hal belum berubah.

Tapi nostalgia adalah sesuatu yang 100% sah. Bukankah kita mulai menyukai kursi antik, arsitektur tua, masakan si embok, ketika yang disebut progress berlangsung, dan 1.000 gedung tinggi berdiri, jalan tol berbelitan, dan supermarket dan restoran berjejer, dan banyak jejak masa silam yang hilang?

Manusia selalu bergerak antara rasa ingin meninggalkan sebuah tempat dan rasa kangen untuk kembali. Kita seakan-akan takut hidup terapung-apung seperti gabus botol di laut luas yang tanpa sejarah.

Masa silam memang tak selamanya enak, tetapi ada sesuatu dalam diri kita yang seperti mengakui bahwa kita kini sebenarnya hidup bagaikan para pengungsi: serombongan manusia yang terusir.


Yang mengusir memang hasrat kita sendiri untuk hengkang dari kemiskinan, keterbelakangan, dan sejenisnya. Dalam film Cinema Paradiso, si anak dianjurkan sahabatnya -- si tukang putar film -- untuk pergi ke kota besar dan tak usah kembali: ia tampaknya tahu bahwa masa silam adalah bagian dari hidup yang tak akan bisa dikunjungi lagi.

Tetapi justru di situlah mendadak timbul sindrom pengungsi itu, yang dalam arti yang luas bukanlah cuma orang yang meninggalkan sebuah tempat.

"Kita harus menerima, meskipun dengan rasa enggan, fakta sederhana bahwa kita hidup dalam abad para pengungsi," kata Leszek Kowakoswski. Kita adalah, "migran, gelandangan, pengembara, yang gentayangan di benua-benua", yang mencoba menghangatkan sukma kita dengan kenangan tentang rumah-rumah kita yang dulu -- rumah rohani yang kini tak kita tempati lagi.

Paklik mengakhiri ceritanya dengan sendu. Saya tahu pasti, ia juga telah kehilangan sebagian rumahnya yang dulu.

Ngomong-ngomong, kapan sampean terakhir nonton di bioskop?

0 comments: