13 March 2007

Suicide mother

Apa lagi yang bisa kita katakan selain tragedi, ketika seorang ibu bunuh diri bersama empat anaknya?

Tersebutlah Mercy, bukan merek mobil, melainkan ibu berusia 35 tahun, warga Lowokwaru, Malang, Jawa Timur.

Tak tahan hidup menderita dalam belitan ekonomi pas-pasan, Mercy nekat mengakhiri hidup bersama empat anaknya yang masih kecil, yang tertua umur 11 tahun dan termuda 1,5 tahun.

Kita pun tersentak, kaget. Begitukah sulitnya kehidupan sampai seorang ibu hanya melihat satu jalan, commited suicide along with her children?

Paklik Isnogud termangu ketika saya menceritakan kisah Mercy itu. Berkali-kali ia menarik napas panjang dan mengembuskannya kuat-kuat sebelum akhirnya ia berkata perlahan, setengah berbisik.

"Seorang ibu, seorang perempuan ... orang-orang yang menanggung beban."

Saya diam menunggu kelanjutan kata-kata Paklik.

"Saya punya cerita tentang seorang ibu, Mas. Sampean mau mendengarnya?"

Saya mengangguk.

"Syahdan, seorang wanita yang keras hati pada suatu hari menulis, 'Semalam, setetes hidup telah terlepas dari ketiadaan.'

Sebuah nyawa memang mendarat di perutnya. Ia hamil. Tapi ia risau. Benih itu adalah benih tak sah dari seorang lelaki yang tak begitu mendapat tempat di hatinya. Haruskah ia kembalikan nyawa itu ke ketiadaan, ataukah ia akan hadirkan ia di bumi? Ia pilih yang terakhir.

Tapi kandungan itu begitu lemah, tubuhnya secara medis harus diistirahatkan untuk memungkinkan si bayi selamat. Beberapa hari ia patuh. Tapi ia wanita yang keras dan aktif dan harus bekerja untuk karirnya, sebagai wartawan.

'Dua minggu yang tak bergerak di tempat tidur sungguh berlebihan bagiku,' tulisnya kemudian. Ia seperti memrotes bahwa wanita harus jadi larva, untuk bayinya, maka ia pun mulai kembali bekerja kembali, bepergian kembali.

Dan bayi di perut itu pun mati.

Cerita ini mungkin akan jadi beres seandainya wanita keras itu pun bisa diam. Tapi ia kemudian ternyata menulis, sebuku penuh, kepada bayinya yang gagal: Surat Kepada Seorang Anak Yang Tak Pernah Lahir.

'Ulurkanlah tanganmu kepadaku,' kalimatnya bicara. 'Lihat, kini kau yang memimpinku, membimbingku. Tapi memang kau bukan sebutir telur, kau bukan ikan yang kecil: kau seorang anak! Kau telah tinggi sampai ke lututku. Bukan, malah ke hatiku ... '

Sentimental. Betapa aneh. Wanita itu adalah Oriana Fallaci, jurnalis yang pernah melemparkan mikrofon ke muka Muhammad Ali, dalam suatu wawancara yang meradang.

Seorang ibu pada akhirnya memang menanggung beban, ketika ia bisa memilih antara melahirkan atau tidak melahirkan. Ada kemerdekaan, tapi juga kesendirian dan rasa bersalah yang dalam.


Saya ndak tahu Mas, apakah Mercy yang sampean ceritakan itu juga menanggung rasa bersalah yang dalam."

Kami sama-sama diam. Di luar, angin menerbangkan dahan di tingkap merapuh. Pertanda apa ini, Ki Sanak? Dunia yang semakin tua?

0 comments: