Greed is good
Tiba-tiba saja Paklik Isnogud memanggil saya datang ke ruangannya pada sebuah siang yang mendung. Bukan sesuatu yang aneh sebetulnya, tapi begitu saya lihat di mejanya ada menu makan siang komplet, ikan bakar, tempe dan tahu goreng, lalap, dan sambal, saya jadi bertanya-tanya.
Paklik ulang tahun? Mau syukuran? Dapet lotere?
"Ada apa, Paklik?" saya bertanya sambil cengengesan. "Tumben ngajak makan siang, nih? Biasane pelit ... "
"Trembelane," Paklik mengumpat sambil berdiri. "Sini, duduk sini, Mas. Ndak onok opo-opo. Kebetulan tadi saya baru diundang seorang kawan untuk ndobos ndak keruan di pabriknya. Eh, lah kok pulangnya dikasih sangu. Lumayan buat beli makan siang, to?
"Wooo ... Pantes, menunya komplet. Kebetulan dari tadi saya juga belum makan. Cacing-cacing di dalam perut sudah teriak-teriak dari pagi."
"Ya sudah, ayo kita sikat makanan ini, Mas."
Tanpa disuruh dua kali saya langsung menyendok nasi dan mencuwil ikan bakar yang masih anget itu. Wah, maknyus bener rasanya ....
Sambil makan, Paklik berbicara ngalor-ngidul. Tentang undangan temannya tadi, tentang pabrik, tentang Jakarta yang tetap macet, tentang hidup, politik, kecelakaan Garuda di Jogja, juga gosip-gosip para artis. Paklik rupanya penggemar gosip juga, hehehe ...
Setelah makanan di meja tandas, kami pun mencuci tangan dan mengelap mulut. Paklik segera menyesap kupi pait dan menyalakan tembakau Marsbrand lintingannya. Sebentar kemudian, asap mengepul dari hidung dan mulutnya.
"Mari kita bicara tentang hasrat dan keserakahan," katanya.
"Halah. Berat betul obrolan sampean, Paklik."
"Lah sampean kan sudah kenyang, Mas. Jadi ya ndak apa-apa to saya ajak ngobrol yang berat-berat."
"Ya weslah, saya ngalah. Mana berani saya menolak ajakan Paklik yang sudah menyantuni anak yatim ini, hehehe ... "
"Sampean tahu," kata Paklik membuka obrolan, "Gordon Gecko pernah bilang Greed is good dalam film Wallstreet yang dibintangi oleh Michael Douglas itu. Nah, kalau kita bicara tentang hasrat, keserakahan, passion, juga kebahagiaan, saya jadi ingat sebuah cerita."
"Cerita apa lagi, Paklik?"
Syahdan, di luar pagoda suci di Kota Rangoon, seorang lelaki menunjukkan bungkusan kecil kepada para turis. Di dalamnya ada sejumlah batu jade dan rubi. Ia butuh uang: "Supaya saya bisa pergi ke Muangthai untuk belanja kemeja dan suku cadang mobil saya."
Tak ada yang tahu benar apa maunya lelaki itu. Adakah dia serakah? Atau sekadar seorang lelaki yang punya keinginan? Atau kebutuhan?
Saya tak tahu. Ada sejumlah orang yang naik perahu ke Moulmein. Kemudian mereka berangkat lagi ke sebuah desa yang tak berapa jauh. Di sana ada gajah-gajah yang membawa mereka melintasi gunung. Perjalanan menyeberang itu makan waktu sekitar 17 jam.
Mereka membawa bekal 400 kyat, sekitar 500 dolar. Separuh dari jumlah itu mereka pakai buat menyogok orang-orang Karen yang menjaga perbatasan. Separuhnya lagi buat orang Thai. Mereka tak merasa rugi: mereka penyelundup.
Siapakah yang mereka layani? Kerakusan?
Seorang pemikir yang masgul melihat dunia sekitarnya, pernah berkata, "Saya rasa, kini hanya di Burma orang berbahagia."
Bahagia -- kata itu bagus tapi aneh. Bagi pemikir itu, orang Burma berbahagia "karena mereka tak bertingkah laku seperti orang-orang yang penasaran di malam yang berkeringat di Kota Bangkok. Atau macam pria dan wanita yang resah di Jakarta. Atau seperti saudagar-saudagar yang tegang oleh uang di Kuala Lumpur dan Singapura.
Di kota-kota itu, bagi pemikir itu, bahagia telah kehilangan intinya. Rumah di daerah eksklusif, baju dengan nama desainer, parfum dengan nama Bvlgari, dan merk mobil dengan nama-nama bersinar -- termasuk sebuah Jaguar yang berharga Rp 1 miliar lebih -- menyebabkan manusia tergoda, memendam hasrat, belingsatan. Bila akhirnya mereka tak mendapat, mereka pun cemburu. Mereka terbakar.
Demikianlah, di luar Burma semua seperti terbakar: gemerlap tapi sengsara. Sang Budha tak didengar, ketika ia berbicara bahwa kelahiran itu menyakitkan, usia tua itu menyakitkan, gering itu menyakitkan, dan "tak memperoleh apa yang diiinginkan itu menyakitkan."
Di Burma, kata pemikir itu, Sang Budha -- dan sabdanya itu -- masih hidup dari pucuk Pagoda Shwedagon. Keinginan telah diminimalkan. Negeri ditutup, dan godaan benda-benda dari luar ditangkis.
Di Rangoon tak ada pantalon logro atau baggy. Yang nampak di tiap sudut hanya sarung longyi. Tak ada supermarket berjejer-jejer di jalanan, restoran cepat saji, tak ada etalase yang merangsang. Perdagangan dikekang oleh negara, agar semua pembujuk selera konsumen bisa dikendalikan.
Pada 1987, seorang wartawan Inggris yang jadi turis di Burma menulis, "penampilan Rangoon tetap seperti ketika ditinggalkan Inggris pada 1948."
Tapi, justru dalam keadaan seperti itulah, kata pemikir itu, "di Burma orang berbahagia".
Bagaimana dia bisa tahu? Entahlah. Dia bukan orang Burma. Dia bahkan tak pernah hidup dalam ketertutupan yang disebut "sosialisme" itu.
Sebaliknya, lelaki yang menjual batu jade dan rubi di luar pagoda suci itulah yang orang Burma. Penyelundup yang naik perahu ke Moulmeln untuk menyeberangi bukit-bukit itulah yang orang Burma. Juga para penadah: orang-orang yang, dalam kungkungan yang dipaksakan itu, ternyata bukan rahib dan ternyata menolak Burma untuk dijadikan biara.
Mereka memang tahu ada Sang Budha yang mengajarkan pembebasan dari rasa sakit, tapi mereka merasa lebih sakit untuk tak punya kosmetik, sigaret, T-shirt, wiski, dan mobil.
Bila pasar gelap berkecamuk dengan barang selundupan, itu adalah petunjuk, bahwa "orang Burma yang bahagia" itu hanya impian seorang pemikir yang masgul.
Tapi, bila di Burma pun orang tak berbahagia, siapa lagikah yang berbahagia? Orang Jakarta selalu resah? Atau penduduk Singapura, Hong Kong, Paris ... ?
Bila eksperimen Burma juga gagal, bagaimana membuat sebuah masyarakat agar tidak gila oleh nafsu "memiliki" yang tak pernah terpuaskan itu?
Mungkin kita harus mengakui keniscayaan keserakahan manusia, kata seorang pemikir lain, lalu kita bikin sistem yang bisa jalan yang menyebabkan keserakahan manusia tak menjadi destruktif.
Tapi, pemikir itu pun tak tahu bagaimana itu bisa dilahirkan. Ia cuma bisa memandang ke langit. Nun sana ada lapisan ozon yang berlubang: jejak mengerikan dari manusia yang abai -- dan berkali-kali gagal menentukan batas bagi dirinya, dan bagi hasratnya."
Cerita Paklik selesai begitu saja. Tiba-tiba saya merasa haus dan ingin segera meninggalkan ruangan Paklik ...
0 comments:
Post a Comment