Student cheated at school
Ibunya anak-anak belakangan ini sering ngomel. Bukan karena jatah uang belanja berkurang. Bukan karena saya lirak-lirik perempuan lain. Bukan pula lantaran saya berbuat salah.
Bukan, Ki Sanak. Bukan karena itu. Mosok priyayi berbuat salah yang ndak perlu. Ya toh?
Simboke bedes-bedes itu ngomel-ngomel karena mengetahui si sulung yang masih kelas 1 SD itu suka nyontek di sekolah. "Hladalah. Nyontek? Mau jadi apa anak itu?" Begitu kata istri saya.
Saya cuma tersenyum saat dia melaporkan "pandangan mata"-nya itu tentang kelakukan si sulung di sekolah. Priyayi je, pantang marah dong.
"Mas kasih tahu dong, anak sekolah itu nggak boleh nyontek. Jangan diem aja. Jangan cuma senyam-senyum."
Kali ini giliran saya yang ketiban pulung dan kena omelan. Wadoh, cilakak tenan. Ini ndak beres. Mosok priyayi diomeli, ya toh?
Jadilah saya melapor ke Paklik Isnogud perihal istri saya yang ngomel-ngomel itu gara-gara anak saya nyontek. Maksud saya sekalian mau nanya, apa yang mesti kita lakukan kalau anak-anak mulai belajar nyontek di sekolah?
Eh, lah kok Paklik Isnogud malah tertawa ngikik ketika saya menjura di hadapannya. "Lah sampean ini ya aneh kok, Mas. Ngapain bingung? Biarin saja anak sampean nyontek. Nyontek apa sih? Paling jawaban matematika temannya kan? Kayak sampean dulu ndak pernah nyontek aja waktu sekolah."
"Loh, Paklik ini gimana sih kok malah mbukak rahasia. Biarpun saya dulu suka nyontek, tapi kan sekarang saya jadi andalan sampean, terutama kalau nagih utang pelanggan. Ya toh?"
"Nah, itu jawabannya. Yang penting kan sekarang. Ndak peduli dulu sampean ini tukang nyontek, ndak peduli waktu kecil dulu sampean tukang nglirik jawaban ulangan teman di bangku sebelah, yang penting itu sekarang ini sampean bisa menyelesaikan persoalan dengan kearifan.
Sampean bahkan boleh menghitung dengan kalkulator kalau mau ngitung utang pelanggan. Sampean ndak dilarang bukan kamus sewaktu bicara dengan klien asing. Yang penting pelanggan mau dan bisa melunasi utangnya. Beres. Begitu kan, Mas?"
"Wah, ya ndak bisa begitu Paklik. Anak-anak harus diajari yang benar sejak kecil biar setelah dewasa nanti juga bisa menyelesaikan persoalan dengan benar."
"Oke, oke ... Begini, Mas. Sebelum sampean naik darah, lebih baik sampean mendengarkan cerita saya. Mau ndak?"
"Kalau Paklik yang cerita, ya mau dong."
"Baiklah, Mas. Ini kisah tentang Rabindranath Tagore yang berhenti sekolah pada usia 13 tahun. Kemudian ia jadi penyair. Kemudian ia jadi pemikir India paling terkemuka hingga hari ini: orang Asia pertama yang mendapatkan Hadiah Nobel untuk kesusastraan.
Pada 1924, ia berbicara kepada para guru tentang pengalaman pendidikannya itu.
"Sering aku hitung tahun-tahun yang harus kujalani sebelum aku memperoleh kemerdekaanku," katanya ketika ia berkunjung ke Tiongkok – seolah-olah sekolah adalah sebuah penjara. Seakan-akan sekolah sebuah tempat menuntut ilmu yang pengap, sebelum seorang anak boleh pergi setelah dianggap jadi."
"Betapa inginnya saya," kata Tagore mengenang, "untuk dapat melintasi masa 15 atau 20 tahun yang menghalang itu, dan dengan semacam sihir gaib, serta-merta jadi seorang dewasa."
Sayang sekali, dalam kehidupan sehari-hari tak ada sihir gaib seperti itu. Ritus itu harus. Masa sekolah bahkan kewajiban dengan perintah dan undang-undang. Anak-anak boleh merasa, seperti Tagore, prosedur itu "siksaan".
Tapi, bahkan kita pun punya pepatah "berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian...." Gatotkaca juga harus diproses di dalam Kawah Candradimuka yang mendidih sebelum jadi kesatria.
Yang jadi soal bukanlah perlu atau tidaknya bersakit-sakit dahulu. Yang jadi soal ialah bagaimana kita menghubungkan latihan hari ini untuk menghadapi hari nanti.
Dengan kata lain, jika sekolah memang dibutuhkan untuk menyiapkan anak-anak bagi hdup mereka kelak, pokok perkaranya terletak pada apa itu kelak.
"Kelak" adalah suatu masa ketika seorang anak, yang jadi dewasa, tak perlu harus menghafal rumus. Ia toh dapat dengan mudah melihatnya pada buku petunjuk. Tak perlu menghitung dengan mencongak. Ia bisa memperoleh hasilnya dengan kalkulator.
Dengan kata lain, dalam hidup sehari-hari seorang dewasa, tak ada pengertian buruk tentang nyontek untuk mendapatkan informasi.
Nyontek itu halal, bahkan dipujikan. Tolol sekali jika Anda tak memanfaatkan komputer, memubazirkan kamus, dan tak tahu apa manfaatnya ensiklopedi. Bodoh jika kita - dalam memperkaya diri dengan input – tak hendak bertanya kepada orang lain yang lebih tahu.
Karena itu, sungguh menakjubkan sebenarnya, bagaimana repotnya sekolah-sekolah kita melarang nyontek. Seakan menghafal data, menutup diri dari teknologi informasi dan menempuh jalan yang tak efisien dalam memperoleh pengetahuan itu semua termasuk "syarat" Kawah Candradimuka.
Atau, semua itu barangkali perlu untuk meneguhkan status guru, dan sekolah, sebagai satu-satunya sumber. Tapi, bila demikian halnya, proses nyontek yang dilarang itu justru dipraktekkan terang-terangan: hanya kali ini sang murid nyontek dari sang pengajar, bukan dari sumber informasi yang luas terbentang di kehidupan.
Tampak sekilas, agaknya, betapa jauh akhirnya latihan di sekolah itu berjarak dari kenyataan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, yang tak bisa disontek bukanlah informasi, yang kini disebarkan ke tiap penjuru dengan kecepatan yang mengagetkan.
Yang tak bisa disontek adalah bagaimana mengolah informasi itu, menjadi pengetahuan dan kearifan. Karena pengetahuan, dan terutama kearifan, pada tiap-tiap orang akhirnya berbeda.
Itulah "kelak" yang akan ditemui setiap anak. Itulah lanskap yang nyata, yang menyebabkan Kawah Candradimuka kita memang seperti kehilangan makna. Mungkin itu sebabnya sekolah berada dalam kritik, generasi yang dimuntahkannya selalu terasa kurang bermutu dan remaja itu sendiri membelot.
Tagore memang tak sepenuhnya benar. Sekolah bukan "siksaan" dan guru serta para orangtua bukan tiran. Anak-anak dengan senang hati toh umumnya tetap berangkat ke sana. Tapi kita, dan mereka, tahu: bukan mata pelajaran serta ruang kelas itu yang membikin mereka betah. Melainkan teman dan pertemuan.
Sebab, sekolah memang tempat tiap anak bersentuhan dengan kehidupan, tempat saling nyontek, dan tempat segala latihan yang tak ada di depan papan tulis: tempat untuk menjadi riil.
"Kita tahu," kata Tagore pula, "anak-anak adalah mereka yang mencintai debu."
"Wah ... hebat betul ceritanya. Jadi, anak saya boleh nyontek ya, Paklik?"
Paklik Isnogud tak menjawab. Ia cuma tersenyum memamerkan kearifan dan keteduhan bak telaga yang bening. Kids cheating at school: cheating, learning or studying?
Bagaimana menurut sampean, Ki Sanak?
0 comments:
Post a Comment